Hidayatullah.com–Modus peledakan di rumah Abu Jibril di Pamulang, Banten ditengarai sebagai cara pihak aparat keamanan (polisi) untuk dapat masuk dan menggeledah rumah Abu Jibril, seorang saksi yang kini diperlakukan bak tersangka. Pernyataan ini disampaikan Ketua Lajnah Tanfidziah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Irfan S Awwas.
Indikasi ini bisa ditunjukkan dengan cara pihak polisi menggeledah seluruh isi rumah, mengambil barang-barang penting di dalam rumah meski bom terjadi di luar. "Ada indikasi, dengan peledakan itu polisi bisa masuk rumah, menggeledah isinya dan mengambil barang-barang penting, " ujar Irfan yang tak lain adik kandung Abu Jibril. "Ini cara yang kasar dan keji, " tambahnya.
Irfan mengaku punya alasan mengapa mencurigai modus seperti itu. Menurutnya, selama ini pemerintah selalu mendapat tekanan dari pihak asing soal bom-bom yang sering meledak. Bahkan terakhir, menurutnya, peryataan berbentuk tekanan kepada pemerintah datang dari International Crisis Group (ICG) yang mengatakan pemerintah Indonesia tak mampu menekan terorisme. "Ini tekanan pada pihak pemerintah." Dengan kasus Tentena ini, kata Irfan, semakin akan menyulitkan pihak polisi.
Karenanya, Irfan curiga, untuk dapat membuktikan bahwa benar ada teroris, maka aparat harus menangkapi orang. Diantaranya adalah kembali ‘mengambil’ orang-orang yang dulu pernah dicurigai namun sudah dibebaskan karena tak ada bukti. Salah satu contohnya adalah Abu Jibril.
"Sekiranya dia (Abu Jibril) tak punya alibi kuat sedang shalat di masjid, mungkin dia langsung dianggap tersangka," ujar Irfan pada Hidayatullah.com.
Kelak, tambah Irfan, gerakan-gerakan Islam dicurigai, termasuk MMI karena dianggap menegakkan syari’at Islam. Dan ujung-ujungnya, Ustad Abubakar Ba’asyir tidak dikeluarkan meski dia sudah habis masa tahanan. "Ujungnya, Abubakar Ba’asyir harus tetap dipenjara karena masih dianggap berbahaya," begitu kutip Irfan. "Anehnya, Ustad Abu di penjara, bom terus meledak. Dan polisi yang sering mengaku sudah mengetahui indikasi teror bom, tak pernah bisa menangkap pelakunya." Karenanya, Irfan mencurigai ini sebagai rekayasa intelijen.
"Bau Aneh"
Kamis (9/6) sehari setelah bom meledak, polisi menggeledah rumah dan menyita barang-barang penting milik Abu Jibril. Diantaranya; sebuah laptop, 300-an keping VCD, 30-an kaset rekaman handycam, dan dokumen milik Abu Jibril.
Anehnya, meski menyebut Abu Jibril sebagai saksi, polisi mengambil barang-barang yang ada di dalam rumah dan juga mengobrak-abrik kamar petugas masjid bernama Sana. Polisi juga menyita sebuah buku pribadinya.
Sebagaimana diceritakan Abu Jibril pada Irfan melalui telpon kemarin, sekawanan intel beberapa hari sebelum bom meledak selalu ‘mengawasi’ gerak-gerik Abu Jibril. Penyamaran yang dilakukan intel-intel ini diakui Abu Jibril makin intensif sebelum sebuah bom meledak di pekarangan rumah yang dikontraknya.
"Saya yakin intel itu pasti ada untuk orang seperti saya," tutur Abu Jibril seperti diceritakan pada Irfan. Kesaksian ini juga diungkap sejumlah warga. Menurut tetangga Abu Jibril, dua minggu sebelum kejadian ada intel yang menyamar sebagai tukang bakso atau tukang becak.
Karena itu, Abu Jibril yakin meledaknya bom itu hanya sebagai pembuka jalan bagi aparat kepolisian untuk memeriksa atau menggeledah isi rumahnya. "Kalau tidak ada kejadian seperti ini, polisi tidak bisa masuk ke rumah saya," kata pria berjenggot ini. (cha)