hidayatullah.com–Trio bersaudara, Choel Mallarangeng, Andi Alifian Mallarangeng, dan Rizal Mallarangeng, memberikan pernyataan saat menggelar jumpa pers di Hotel Imperial, Makassar, kemarin.
Dalam jumpa pers itu, Andi Alifian Mallarangeng yang Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat mengatakan, putra Sulawesi Selatan (Sulsel) belum waktunya menjadi pemimpin di negeri ini karena masih ada calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang lebih baik selain orang Sulsel.
Alifian menegaskan hal itu di hadapan sekitar 3.000-an simpatisan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono saat kampanye dialogis di Gedung Olahraga Mattoanging Andi Mattalata, Makassar, Rabu (1/7) kemarin.
Pernyataan soal presiden itu dipertegas lagi oleh Alifian yang juga Juru Bicara Tim Kampanye SBY-Boediono, ketika Tribun menanyakannya kembali usai jumpa pers di Hotel Imperial Aryaduta, usai kampanye.
Alifian menegaskan bahwa saat ini belum saatnya orang Sulsel menjadi presiden karena pasangan SBY-Boediono masih lebih baik dibandingkan pasangan lainnya, termasuk capres Jusuf Kalla (JK) yang berasal dari Sulsel.
Mengenai alasannya mendukung pasangan SBY-Boediono dan tidak memilih orang yang berasal dari Bugis-Makassar, juru bicara kepresidenan ini mengatakan selalu memegang prinsip yang tersirat dari pepatah Bugis Makassar, Maradeka to Ugie Adenna Napopuang, yang artinya orang Bugis merdeka dan hanya adat atau nilai yang diagungkan.
“Oleh karena itu, orang Sulsel harus menentukan orang yang terbaik dan objektif dalam memilih capres yang terbaik. Kita bukan memilih gubernur yang namanya Syahril. Yang kita pilih adalah presiden yang bisa mengelola negeri ini,” terang Alifian.
Pernyataan Alifian ini mengundang reaksi dari dua cendekiawan Sulsel, Prof Dr dr Dali Amiruddin SpKK(K) dan Prof Dr Qasim Mathar MA. Keduanya menilai, pernyataan Alifian kurang etis sebagai seorang anak muda asal Sulsel yang sedang melejit di kancah nasional.
“Dalam budaya Bugis-Makassar dikenal hukum ri paoppangi tanah. Hukuman ini dianggap salah satu hukuman tertinggi bagi seorang bangsawan Bugis yang bersalah. Jika tidak bisa dialirkan darahnya (dibunuh), maka hukuman baginya adalah ri paoppangi tanah atau diharamkan lagi menginjakkan kakinya di Tanah Bugis karena menyudutkan tokoh Bugis,” tegas Qasim yang juga Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar ini.
“Dia (Alifian) dan adiknya, Rizal, cukup cerdas menyerang daerah Bugis. Kedua kakak-adik itu masuk ke ranah sensitif, soal suku, apalagi dikatakan suku Bugis tidak atau belum bisa menjadi presiden,” ujar Qasim.
Menurutnya, “serangan” yang dilontarkan Mallarangeng bersaduara langsung ke titik yang bisa membuat orang Bugis kehilangan kontrol. Apalagi, jika yang kehilangan kontrol adalah tim JK-Wiranto.
Yang dilakukan adalah menciptakan kekacauan psikologis dan mendorongnya agar yang diserang menjadi sangat emosional.
“Alifian Mallarangeng tidak seharusnya berbicara seperti itu. Semua orang berhak menjadi presiden, apakah dia Bugis atau Jawa,” kata Dali Amiruddin yang juga dokter spesialis kulit dan kelamin ini.
Menurut tokoh masyarakat Sidrap ini, Alifian seharusnya berpikir sebelum mengeluarkan ucapan dengan pertimbangan, apakah ucapannya masuk akal atau tidak?
“Kualitas seseorang dapat kita lihat dari apa yang dia keluarkan dari mulutnya. Sekarang silakan Anda menilai, Alifian bagaimana? Jika Alifian seorang cendekia, harusnya ia berbicara seperti seorang cendekia,” kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Unhas ini. [trb/hidayatullah.com]