Hidayatullah.com–Budayawan dan penyair Taufik Ismail menyampaikan pendapatnya pada sidang Uji Materi UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama sebagai saksi ahli dari Mahkamah Konstitusi (MK) dalam bentuk puisi.
Berjudul “Tebing Betapa Curam, Jurang Betapa Dalam, Tak Tampak Kedua-duanya”, sejenak membuat terhenyak hadiri di ruang sidang.
Dalam puisinya itu, Taufiq sempat menyindir langkah tim pemohon uji materi menghadirkan ahli dari luar negeri, Prof. W. Cole Durham.
“Kita bingung ini dan harus mendapat solusi. Mari kita hubungi orang yang ahli. Yang ahli itu pastilah orang luar negeri. Yang jago dalam teori dan kita kagumi. Dengan retorika penuh erudisi. Yang penting liberal, walau kolonial, kita tak peduli,” sindir dia dalam puisinya, di atas mimbar Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta, Rabu (24/03).
Dalam puisi itu Taufik mengibaratkan langkah para pemohon Uji Materi UU Penodaan Agama sebagai pagar yang mencegah warga desa terjatuh ke jurang. Ia menggambarkan pagar itu terbuat dari kayu dan terbatas kekuatannya. Dia menyebut para pemohon sebagai orang yang tidak waras alias gila.
“Maaf ya, maaf. Kalian yang mau cabut pagar ini, kalau tidak rabun atau buta, ya gila. Tebing betapa curam. Jurang betapa dalam. Kok tak tampak kedua-duanya,” ujarnya intonatif.
Nyaris Ricuh
Sementara itu, saat jeda sidang sambil memberi waktu beristirahat siang, sempat terjadi kericuhan di sekitar Cafetaria Emka. Kejadiannya begitu cepat. Seperti diakui beberapa pengacara pemohon pencabutan UU Nomor 1/1965 tentang Penyalahgunaan/Penodaan Agama, mereka mengklaim ‘diserang’ anggota Front Pembela Islam (FPI).
“Saya dan Uli (Uli Parulian Sihombing) keluar lobi, mereka merubung, tiba-tiba ada yang menendang kaki. Menuduh munafik, kamu muslim atau tidak!” kata Nurkholis, salah seorang pengacara pemohon kepada wartawan.
Hal senada juga disampaikan kuasa hukum lainnya, Novel. Waktu itu, dia bersama Jerry sedang mengambil gambar. Lalu Novel ditendang dan dipukul oleh kelompok pendukung UU.
“Lantas saya ditarik ke belakang kantin, ternyata di samping sudah banyak massa, lalu dihadang. Dalam perjalanan, saya dihajar, dilemparin kertas. Ditonjok di perut,” ceritanya.
Namun saksi mata lain yang menyaksikan langsung kejadian tersebut memberikan kesaksian yang berbeda. Seperti dilaporkan Abdul, saksi mata yang berada di tempat kejadian bahwa sebelum terjadi bentrok, mereka sempat saling berbicara dengan tensi yang tinggi.
“Mereka berhadap-hadapan. Debat dengan tensi tinggi. Di sekitarnya ada orang yang foto-foto, saya pun ikut motret,” jelas Abdul yang ditemui hidayatullah.com di tempat kejadian.
Sebelumnya, Abdul mengaku sempat duduk-duduk sambil pasang sepatu di pelataran mushalla Emka setelah melakukan ibadah sholat dzhuhur. Sejurus kemudian, ada beberapa orang yang baru keluar dari Cafetaria Emka disambangi anggota FPI yang duduk tidak jauh dari posisi Abdul.
“Saya lihat, mereka ngobrol biasa saja awalnya. Tapi lama-lama meninggi. Seingat saya, tidak ada wawancara di situ,” cerita Abdul. Dalam kondisi seperti itu, beberapa orang mengambil gambar dengan kamera saat perbincangan meninggi.
“Tiba-tiba saja banyak kerumunan dan mereka saling dorong. Tapi tidak ada pukul-pukul kepala. Cuma saling dorong-dorong aja kok,” tukas Abdul yang sempat direbut handphone miliknya karena mengambil gambar kejadian tersebut oleh massa. [ain/hidayatullah.com]
Foto: Muh. Abdus Syakur/Hidayatullah.com