Hidayatullah.com–Dari sudut pandang filsafat hukum tata negara, pada prinsipnya Undang-Undang No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama memiliki peran penting mencegah konflik sosial antarumat beragama.
Pernyataan itu disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, saat menjadi saksi ahli Mahkamah Konstitusi (MK) pada Sidang Uji Materi UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta, Rabu (24/03).
Karena itu, dia meminta UU tersebut tidak dicabut, tapi sebaliknya dipertahankan. Dengan menggunakan dua pendekatan di atas, UU Peondaan Agama dinilai masih relevan meski diterbitkan puluhan tahun lalu.
“Undang-Undang PNPS keluar saat itu untuk mencegah disharmoni dan ketegangan sosial antarkelompok masyarakat. Maka menurut saya, UU ini masih relevan, dapat harus terus dipertahankan saat ini. Kalaupun ada yang kurang, mari dilakukan perbaikan dan penyempurnaan,” katanya.
Itu sebabnya, jelas dia, jika suatu tafsiran disebarkan dan menimbulkan keresahan, maka negara wajib bertindak.
Dikatakan Yusril, keberadaan UU Penodaan Agama tidak berarti negara mencampuri urusan agama dan berkeyakinan. UU tersebut sengaja dibuat agar negara bisa menjalankan tugas untuk melindungi dan menjamin warga negara menjalankan hak kebebasan beragama. Negara juga berkewajiban melindungi keamanan seluruh warga negara.
Selain itu, jika kasus penodaan agama diserahkan kepada warga negara tanpa aturan, maka anarki bisa terjadi. Hal itu mungkin terjadi karena masing-masing pemeluk merasa memiliki hak untuk melakukan tindakan apa pun untuk membela agamanya.
“Tidak semua agama bisa melindungi diri sendiri. Jika diserahkan pada pemeluk, anarki bisa terjadi. Misalnya, ada pencuri masuk ke rumah, pemilik rumah bisa potong tangan,’’ katanya. [ain/hidayatullah.com]