Hidayatullah.com—Polemik hukum lokalisasi judi pernah dibahas dalam Bahtsul masail diniyah di Musyawarah Kerja Wilayah (Muskerwil) PWNU Jateng di Pondok Pesantren Nurul Islami, Rejosari, Wonolopo, Mijen, Semarang, Agustus 2004 lalu.
Saat itu, kiai-kiai NU sepakat menolak gagasan melokalisasi judi dan WTS (wanita tuna susila). Menurut para kiai, yang seharusnya dilakukan pemerintah dan masyarakat adalah izalatul munkarat atau taghyirul munkarat (menghilangkan kemunkaran dan kemaksiatan) dalam segala bentuk. Sedangkan lokalisasi hanya bersifat mengurangi atau meminimalkan, tidak menghilangkan.
Saat itu, Wakil Rois Syuriyah PWNU Jateng KH. Nadjib Hasan (sekarang Wakil Syuriah PWNU Jateng), yang memimpin Komisi Bahtsul Masail menjelaskan, pihaknya sangat menghargai pendapat atau wacana para kiai dan berbagai pihak mengenai lokalisasi judi dan prostitusi. Termasuk pendapat KH MA Sahal Mahfudh yang menganggap tidak masalah terhadap ikhtiar mengurangi judi dengan cara melokalisasi.
Namun, menurut Nadjib Hasan, kebijakan lokalisasi hingga sekarang masih bersifat dhanny (mungkin dan tidak pasti). Buktinya, meski ada lokalisasi WTS, sampai sekarang perzinaan masih merebak di mana-mana.
Sementara itu, Katib Syuriah KH Ubaedullah Shodaqoh SH yang pengasuh Pesantren Al-Itqon, Bugen, Tlogosari Wetan, Semarang, mengatakan, mafsadat atau dampak negatif yang yakin terjadi akibat lokalisasi tidak dapat dihilangkan dengan adanya maslahah yang bersifat dhanny.
Dia mengutip kaidah fikih Alyaqin la yuzalu bis syakki (keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh sesuatu yang bersifat syak (dugaan). [sumer/hidayatullah.com]