Hidayatullah.com–Masyarakat etnis Banggai, Balantak dan Saluan menyalakan ribuan lampu minyak tanah sebagai tradisi menyambut malam Laila (malam Lailatulqadar).
Malam Laila dilaksanakan tiap 27 Ramadhan dengan menyalakan lampu botol atau bambu di halaman rumah warga.
Warga etnis Babasal yang mendiamai Kabupaten Banggai dan Banggai Kepulauan (Bangkep) Sulawesi Tengah telah turun temurun melaksanakan tradisi malam Laila seperti.
Imam Masjid Anggung An Nur Banggai Luthfie Yusuf mengatakan tradisi malam Laila terpeliharan dengan baik di Banggai.
“Ini sudah tradisi masyarakat di sini untuk menyambut turunnya malam Lailatulqadar dengan menyalakan lampu di halaman rumah masing-masing,” ujarnya, Minggu (5/9) malam.
Tidak diketahui sejak kapan tradisi itu dimulai, namun yang jelas kebiasaan itu sudah mengakar di sana.
Lampu Laila dinyalakan setelah berbuka puasa hingga pagi sebelum salat subuh. Tradisi lampu Laila ini berlangsung sejak malam ke 27 Ramadhan hingga akhir bulan Ramadhan ditandai pawai takbir.
Tiap rumah menyalakan lampu botol sedikitnya tiga buah. Masyarakat meyakini jumlah lampu yang dinyalakan mempengaruhi turunnya malam seribu bulan.
Untuk menyalakan lampu Laila memiliki syarat tersendiri yakni harus orang dewasa, mengambil air wudhu dan membaca surah ke 97 kitab Al Quran Al Qadr tiga kali. Surah Al Qadr menceritakan tentang turunnya kitab Al Quran dan turunnya malam seribu bulan.
Lampu Laila dinyalakan dengan harapan malam Lailatulqadar yang bernilai setara seribu bulan turun.
“Niatnya adalah menjemput malam Lailatulqadar,” ungkap Lutfie.
Saat lampu Laila dinyalakan, warga ikut berjaga-jaga sepanjang malam dengan mengisi ibadah seperti membaca ayat Al Quran atau mendengarkan ceramah agama.
Sulfah (37), warga kelurahan Karaton mengatakan sejak kecil menyalakan lampu Laila.
“Sejak kecil orang tua menyalakan lampu, makanya kita juga menyalakan,” katanya.
Lampu Laila telah tersedia di pasar Simpong sejak sepekan lalu. Tiga buah lampu seharga Rp2 ribu.[ant/hidayatullah.com]