Hidayatullah.com–Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan kekhawatirannya atas perkembangan kekerasan di masyarakat dalam konflik terbuka. Hal ini diungkapkan MUI di tengah-tengah acara konferensi pers MUI menyoroti Festival Film Homoseksualitas dan perkembangan kekerasan di masyarakat, Kamis sore (30/9) di Jl.Proklamasi No.51 Menteng Jakarta Pusat.
“Kami sangat prihatin atas kekerasan yang berkembang di masyarakat, kami harap pemerintah bersama kekuatan komponen masyarakat melakukan pendekatan dan pembinan,” kata Ketua MUI Pusat, KH.Ma’ruf Amin.
Menurut Ma’ruf Amin, pemerintah, khususnya aparat keamanan agar aktif dan proaktif di dalam mencegah tangkal terhadap berkembangnya konflik sosial.
“Polisi dan aparat penegak juga hukum hendaknya tegas, adil, proporsional, dan profesional dalam mengambil langkah dan tindakan,” tambahnya.
Menurut MUI, aparat penegak hukum harus pula,memperhatikan azas praduga tak bersalah dalam menangan berbagai macam konflik dan menekan jumlah korban konflik tersebut.
Dalam menangani konflik-konflik terbuka pemerintahan aparat penegak hukum harus melibatkan tokoh-tokoh agama, tokoh adat, dan masyarakat setempat.
Masyarakat pun diimbau oleh MUI agar mengembangkan sikap hidup positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Masyarakat harus terus membangun sikap saling menghormati, saling mencntai atau tawaddud dan saling mengasihi atau tarrahum dalam kehidupan sosial,” tandas Kiai Ma’ruf.
Frustasi Sosial
Sementara itu, pengamat menilai, pemandangan kekerasan yang terjadi di masyarakat tak lain akibat frustasi sosial dan pemandangan kaum elit. Lemahnya penegakan hukum dan pertikaian elite bangsa yang sering kali ditayangkan di media massa menjadi pemicu kekerasan itu.
”Masyarakat dilanda frustrasi sosial. Orang cenderung melihat hidup tak lagi mempunyai makna. Hidup orang lain cenderung dinilai sangat murah, sama sekali tak dihargai martabatnya sebagai manusia,” ujar William Chang sebagaimana dikutip Kompas.
Sementara itu, di media yang sama, Guru Besar Psikologi dari Universitas Indonesia Sarlito Wirawan Sarwono melihat, maraknya aksi kekerasan massa dipicu oleh terlalu seringnya tokoh bangsa berantem dan berdebat tanpa ujung di media massa, khususnya televisi.
”Dalam teori psikologi, ada namanya teori modeling. Ilustrasinya, jika anak kecil diberi tayangan film yang di dalamnya ada adegan memukuli boneka, saat anak itu diberi boneka, ia akan ikut-ikutan memukuli boneka. Jika di film itu bonekanya dibelai dengan kasih sayang, si anak itu juga akan membelainya dengan kasih sayang,” katanya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Dalam hal ini, lanjut Sarlito, media massa, terutama televisi, perlu lebih menahan diri untuk tidak membesar-besarkan polemik tokoh.
Guru Besar Kriminologi UI Adrianus Meliala mengatakan, apa yang terjadi di bawah umumnya dikendalikan dari atas (elite). Isu yang digunakan adalah isu agama dan suku.
”Kedua isu ini paling menguntungkan dan berbuah bagus untuk kepentingan mereka. Sebab itu, mereka berulang kali memakai dua isu ini untuk menggalang kekuatan massa di jalanan melakukan tindakan destruktif,” kata Meliala.
Meliala menduga, institusi negara dan institusi politik terlibat dalam banyak kasus kekerasan massa di jalanan. ”Mereka bisa bersikap pasif dengan melakukan pembiaran atau bersikap aktif dengan ikut mendorong terjadinya benturan,” ucapnya. Jadi apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini? [bil/cha/hidayatullah.com]