Hidayatullah.com–Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Mochamad Jasin menilai, stagnannya pemberantasan korupsi, yang kemudian dipersepsikan dalam IPK, disebabkan karena sistem hukum dan sistem politik di Indonesia yang masih korup.
“Makanya gandul. Anggota DPR, DPRD, kemudian pilkada, selalu umbar duit. Dan ini beresiko politik, karena setiap pilkada tidak ada yang berakhir tenang, semua ricuh. Inilah yang dinilai oleh para peneliti internasional,” kata Jasin pada peluncuran Corruption Perception Index 2010 di kantor Tranparency International-Indonesia, Jakarta, Selasa (26/10).
Sebagaimana diumumkan, Indonesia berada pada peringkat 110 dalam Indeks Persepsi Korupsi di dunia dengan skor 2,8. Skor IPK ini tidak berubah dibandingkan tahun 2009 lalu yang juga 2,8. Artinya, pemberantasan korupsi tidak berjalan, dengan kata lain stagnan.
Selain itu, kata Jasin, perizinan investasi yang mahal dan berbelit-belit juga menjadi penghambat bagi perbaikan indeks persepsi korupsi buat Indonesia.
Ia melihat, investor masih sulit untuk menanamkan modalnya di Indonesia dengan tenang. Hal itu disebabkan sistem perizinan yang juga masih korup. “Perizinan investasi mahal dan lama,” imbuhnya.
Perbaikan birokrasi dalam lima tahun ini kata hanya tiga lembaga yang menjadi pioner tahap pertama reformasi birokrasi, yakni, Badan Pemeriksa Keuangan, Kementerian Keuangan, dan Mahkamah Agung.
“Itu pun belum tuntas. Itu prioritas, tapi malah terganjal kasus Gayus. Jadi tidak integrated, tidak komperhensif, dan tidak parsial. Itu kondisi sekarang,” katanya.
Bagaimana ke depannya? Jasin menyatakan, pencegahan dan penegakan hukum harus dapat berjalan beriringan.
Ketua Dewan Pengurus TII Todung Mulya Lubis menyatakan, alasan lambatnya pemberantasan korupsi di Indonesia disebabkan pemerintah hingga saat ini masih ragu dalam memperkuat lembaga penegak hukum secara keseluruhan yang mencakup kepolisian, kejaksaan, KPK, dan pengadilan.
“Yang dibutuhkan bukan lagi pidato. Yang dibutuhkan adalah tindakan,” katanya. [KB/hidayatullah.com]