Hidayatullah.com–Sejak reformasi bergulir, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sudah tidak diterapkan lagi. Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah mengusulkan pijakan pemerintah yang populer pada era Orde Baru itu dihidupkan lagi agar arah pembangunan kebangsaan punya tujuan pasti.
Hal tersebut disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin di depan pimpinan MPR di Jakarta, Jumat (12/11). Menurut Din, ketiadaan GBHN pada era reformasi membawa dampak yang beragam. Sentuhan kepemimpinan saat ini belum memenuhi keinginan rakyat yang sebenarnya. “Ada deviasi (penyimpangan) distorsi (perubahan) tujuan pembangunan negara,” tuturnya.
Din kemarin tidak sendiri. Dia hadir bersama sejumlah petinggi PP Muhammadiyah. Di antaranya Ketua Bidang Ekonomi Bambang Sudibyo, Ketua Bidang Tarjih Yunahar Ilyas, dan Ketua Bidang Pustaka Dadang Kahmad. Mereka diterima Ketua MPR Taufik Kiemas yang didampingi para wakil ketua, seperti Lukman Hakim Saifudin, Hajriyanto Thohari, dan Melani Leimena Suharli.
Menurut Din, usul kembali digunakannya GBHN bertujuan untuk merevitalisasi visi kebangsaan. Negara saat ini tidak mampu menerjemahkan ataupun melawan serangan arus globalisasi. Negara begitu inferior yang rendah diri di depan negara lain.
Indonesia, kata dia, seharusnya bisa meniru Tiongkok. Dengan latar belakang sejarah yang kuat, Tiongkok mampu memodifikasi arus globalisasi untuk kebutuhan mereka. “Cina (Tiongkok, Red) mampu mengembangkan free market economy dengan market kecinaan,” ujarnya.
Indonesia tak bisa mengikuti Tiongkok karena visi dan misi kerakyatan saat ini tidak mampu menjadi kebutuhan utama bangsa. Visi kepemimpinan saat ini, ucap Din, telah salah arah dengan tidak membawa konsensus rakyat dalam pembangunan. Nah, imbuh Din, konsensus itu seharusnya terimplementasi dalam penetapan seperti halnya GBHN. “Visi pembangunan tidak bisa diserahkan kepada presiden atau Wapres. Itu terlalu personal,” tegasnya.
Menurut Din, tidak ada salahnya jika GBHN dikembalikan kepada MPR. Dengan begitu, MPR akan kembali menjadi lembaga tertinggi di antara lembaga tinggi negara lainnya. “Ini supaya konsensus nasional bisa dikembalikan sehingga tidak ada penyimpangan,” jelasnya.
Dalam hal politik, kepemimpinan tanpa arah saat ini hanya melanggengkan kekuasaan. Sudah saatnya dipikirkan suksesi kepemimpinan menghadapi transaksional 2014. MPR harus membuka peluang bagi semua kehidupan politik. “Jauhkan dari power of money (kekuatan uang). Karena cost-nya terlalu mahal untuk kita bayar,” tuturnya.
Din juga meminta kampanye pemilu tidak lagi mengedepankan citra sosok pemimpin. “Pemimpin bukan pada citra, bukan pada penampilan, tapi pada watak kepemimpinan,” tandasnya.
Taufik Kiemas menganggap usul PP Muhammadiyah itu layak dipertimbangkan. Posisi keberadaan GBHN memang harus diatur dalam konstitusi. Namun, jalan yang dilakukan untuk memasukkan hal tersebut tidak harus melalui amandemen. “Kita sedang pikirkan, mungkin dengan joint session, tidak usah amandemen,” kata Taufik.
Menurut Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifudin, usul Muhammadiyah mengindikasikan adanya kerinduan publik terhadap kekuatan pemerintahan. Saat era reformasi dimulai, publik seakan-akan ingin keluar dari belenggu pemerintahan yang mengintervensi.
Lukman memberikan apresiasi terhadap usul Muhammadiyah. Posisi itu juga merupakan aspirasi atas perkembangan proses demokrasi yang terjadi selama lebih dari sepuluh tahun. Meski begitu, kekuatan untuk mengubah konstitusi tidak hanya terletak di MPR. “Ada DPR dan DPD yang memiliki hak mengusulkan,” tandasnya [jp/hidayatullah.com]