oleh: Rizqo Kamil Ibrahim
Wanita dan Pernikahan
BEGITU pula dalam pernikahan, orangtua tidak boleh memaksa seorang gadis tanpa persetujuannya. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Seorang janda akan dinikahi harus diajak bermusyarah dan bila seorang gadis maka harus seijinnya (persetujuan).” (HR. At-tirmidzi dan Ibnu Majah)
Bahkan dalam Islam terdapat konsep khulu’, yaitu permintaan cerai dari istri terhadap suami jika suami melakukan kemaksiatan, kedzoliman terhadap istri dan alasan syar’i lainnya, sebagaimana kisah istri Qois bin Tsabit yang mengadu kepada Rasulullah Shalla llahu ‘alaihi wasallam:
“Ya Rasulullah,tentang Tsabit bin Qais, aku tidak mencela agama dan akhlaknya, akan tetapi aku tidak ingin kafir (karena durhaka pada suami) setelah aku masuk Islam,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Apakah kamu bersedia mengembalikan kebunya (yang ia berikan sebagai mahar)? “Dia menjawab : “ya”. Maka Nabi bersabda (kepada Qois ): “Terimalah kebun itu dan ceraikanlah ia dengan satu tholaq.” (HR.Bukhari).
Hal ini terjadi karena ada alasan yang jelas,namun jika tidak ada alasan syar’i maka hal tersebut tidak diperkenankan.
Begitu juga dalam menuntut ilmu, wanita mendapatkan hak yang sama dengan pria. Lantas apakah kisah Kartini yang tidak diperkenankan oleh keluarganya untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi merupakan diskriminasi?
Entahlah, dalam masalah Kartini ini amat sukar untuk dikategorikan apakah ia diskriminasi atau tidak, karena dengan keadaan Indonesia saat itu yang mana banyak pria asing di situ, melanjutkan sekolah dari SD ke jenjang yang lebih tinggi mungkin dalam pandangan keluarga Kartini pada saat itu bukan hal yang tepat. Toh Kartini tetap bisa belajar di rumah, dan di dalam kisah hidupnya Kartini berhasil mendirikan “sekolah Kartini”.
Kembali soal menuntut ilmu, dalam Islam menuntut ilmu wajib bagi pria dan wanita dengan dalih keumuman hadist:
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” Dan juga perkataan Rasulullah terhadap wanita yang mengetahui ilmu ruqyah: “Ajarilah Hafsoh ruqyah sebagaimana kamu mengajarinya tulis menulis.” (Al-Albani, Silsilah Hadist Shohih, hal: 178 ).
Hadits ini dengan gamblang menjelaskan bahwa kegiatan belajar mengajar oleh wanita telah dilakukan dari zaman salaf dahulu.
Tradisi ini terus menerus berjalan, saudi misalkan, dengan sekolah yang bebas ikhtilat (berbaurnya pria dan wanita), berhasil melahirkan akademisi wanita yang berprestasi bahkan tidak jarang karangan mereka menjadi rujukan.
Sebut saja Al-Mujalla li Syarhi Qowaidu Mustla (penjelasan tentang nama dan sifat Allah) yang dikarang oleh Kamilah Al-Kiwari, Dzohirotu at-Tashih ‘inda Syiah (Fenomena Tokoh Syi’ah yang Menggugat Syi’ah), oleh Dr. Basmah Bintu Ahmad Aljastani, Ahkamu Dzikr Fil asy-Syari’ati al-Islamiyah (Hukum Dzikir dalam Syari’at) oleh Amal Bintu Falih Ash-Shugoyyar, Tahqiq Kitab Attibyan fi Adabi Hamalati Quran milik Imam Nawawi yang dilaksanakan oleh Ummu Abdillah bintu Syeikh Muqbil (kini tinggal di Makkah sebelumnya di Yaman, beliau merupakan anak perempuan dari ulama besar Yaman Syeikh Muqbil bin Hadi), dan masih banyak doktor, akademisi mahasiswa wanita berprestasi yang dimiliki Saudi.
Alhamdulillah kini telah banyak kita temukan pesantren-pesantren khusus wanita yang dapat mencerdaskan anaknya melalui pesantren. Dan kini banyak terdapat home Scholling bagi wanita yang mungkin sulit untuk ke pesantren, dan semoga saja tahun-tahun mendatang sekolah-sekolah negeri di Indonesia bisa bebas dari ikhtilat.
Begitu pula dalam hal warisan, pembagian yang sudah ditetapkan oleh syaria’t untuk kaum hawa adalah pembagian yang adil dari yang maha adil atau ada yang lebih adil dari Allah?, jauh jauh hari rasulullah bersabda:
إن الله قد أعطى كل ذي حق حقهو فلا و صية لوارث
“Sesungguhnya Allah telah memberikan orang yang memiliki hak sesuai dengan haknya, dan tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (Abu Dawud (3065) dan berkata Syafii bahwasanya redaksi hadist ini mutawatir, lihat: al-umm (4/114))
Kesetaraan Gender
Di sisi lain, masuknya konsep kesetaraan gender dari Barat sedikit banyak akan mempengaruhi kaum Muslim dan Muslimah. Dengan konsep ini, wanita yang muliakan oleh Islam, mulai gemar memperlihatkan dirinya, bergaul dengan lawan jenis, bisa digoda siapa saja.
Mungkinkah era konsep gender akan mampu melahirkan kader-kader seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Bukhori?
Boleh jadi ada! Namun layaknya mencari seuntai rambut hitam di antara belantara rambut putih alias jarang.
Saatnya kita berubah. Meminjam istilah santri “syammir wa jidda” sisingkan lengan baju lantas berjuang sudah saatnya dikumandangkan melalui agenda “salafisasi pendidikan” atau kembali ke manhaj salaf (jalan beragama ulama salaf) yang di sana terlihat bagaimana perilaku wanita pada saat itu layakanya kisah Fatimah di atas. Islam memperlakukan wanita lebih bermartabat yang akan melahirkan anak bangsa yang bermartabat pula.
Wanita memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam, wanita memang diperintahkan untuk menaati suaminya sedemikian rupa namun sejatinya sehebat – hebatnya seorang pria ia pun diperintah untuk tunduk kepada wanita, yaitu sang ibu.
“Wahai Rasulullah siapa orang yang paling berhak bagi aku untuk berlaku bajik kepadanya? ” nabi shalla ‘llahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ibumu” orang itu bertanya lagi ,”kemudian setelah dia siapa? ” nabi shalla ‘llahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “ibumu” orang itu bertanya lagi ,”kemudian setelahnya siapa? “ibumu” jawab nabi shalla ‘llahu ‘alaihi wa sallam , iapun bertanya lagi “kemudian setelah ia siapa?”, “ayahmu.” (HR.Bukhari). Wallahu ta’la a’lam bi as-showab.*/Madinah, Jumadal Tsani, 1st 1433/April 22nd 2012
Penulis kini melanjutkan studi di Universitas Islam Madinah
Baca Tulisan Pertama