Hidayatullah.com–Transparency International Indonesia (TII) mencatat indeks persepsi korupsi 2010 di Surabaya memburuk, karena masuk “lima terjelek” dari 50 daerah yang diteliti.
“Tahun lalu (2009), dari 50 daerah yang diteliti, Surabaya menduduki peringkat 33, tapi tahun ini (2010) menduduki peringkat 47 dari 50 daerah,” kata peneliti TII Kumba Digdowiseiso di Surabaya, Selasa (30/11).
Ia mengemukakan hal itu dalam Sosialisasi Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2010 yang digelar Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya dan diikuti puluhan peserta dari birokrasi, LSM, akademisi, dan praktisi hukum.
Menurut dia, penelitian dilakukan pada April-Oktober 2010 dengan survei langsung kepada 9.237 responden pelaku bisnis pada 50 kabupaten/kota se-Indonesia.
Di Jatim, TII melakukan survei pada empat kota/kabupaten, yakni Surabaya, Malang, Kediri, dan Jember, dengan menguji 11 variabel, di antaranya perizinan bisnis, instansi pelayanan umum, dan pembayaran pajak daerah. Selain itu, kontrak proyek daerah, keputusan hukum yang menguntungkan, upaya mempengaruhi pembentukan kebijakan, gratifikasi, pemerasan, konflik kepentingan, aparat pemerintah, dan aparat penegak hukum daerah.
“Nilai terjelek untuk aparat penegak hukum daerah yakni 3,52 dan nilai terbaik untuk pemerasan 4,39, sehingga tidak ada nilai 5 sama sekali, apalagi lebih dari itu, bahkan nilai total adalah 3,94,” paparnya.
Nilai itu lebih jelek dibandingkan dengan indeks untuk tiga daerah lainnya di Jatim yang diteliti, yakni Malang sebesar 4,15, Kediri 5,56, dan Jember 4,71.
“Surabaya masuk lima kota/kabupaten yang nilainya terendah, yakni Jambi 4,13, Makassar 3,97, Surabaya 3,94, Cirebon 3,61, dan Pekanbaru 3,61,” ungkapnya.
Sementara “lima terbaik” adalah Denpasar 6,71, Tegal 6,26, Solo 6,00, Yogyakarta 5,81, dan Manokwari 5,81. “Jadi, nilai terbaik bukan 7, tapi 6,7 yakni Denpasar,” katanya menegaskan.
Ia menilai, posisi itu menunjukkan upaya pemberantasan korupsi di Surabaya masih kurang serius, karena itu Surabaya diharapkan mau belajar kepada Denpasar.
“Program e-procurement atau e-proc (penggunaan IT untuk transparansi birokrasi) ternyata tidak menjamin transparansi, karena pengelolanya dapat melakukan block untuk pebisnis tertentu,” ujarnya. [ID/ant/hidayatullah.com]