Hidayatullah.com — Direktur Lembaga Kajian Syariat Islam (LKSI) Fauzan al Anshari, mengatakan rilis hasil survey SETARA Institute yang menyimpulkan warga Jakarta dan sekitarnya menunjukkan kecenderungan intoleran dalam kehidupan beragama patut dipertanyakan.
Menurutnya, survey itu tidak menyebut rinci variabel variabel yang dipakai untuk menyimpulkan adanya intoleransi beragama.
Sebelumnya, SETARA Institute mengumunkan hasil survey bahwa kecendrungan intoleransi warga di wilayah Jabodetabek masih sangat tinggi.
Survei tersebut dilakukan terhadap 1.200 perempuan dan laki-laki di Jakarta, Bekasi, Bogor, Depok, dan Tangerang selama 22 hari dan diumumkan pada 29 November.
Dari jumlah tersebut, 49,5 persen (hampir separuh) tidak menghendaki kehadiran tempat ibadat agama lain di wilayah sekitar mereka.
Sekitar 84,13 persen dari responden tidak menyukai anggota keluarga atau kerabat mereka menikah dengan orang dari latarbelakang agama lain. Termasuk kecenderungan penolakan terhadap pendirian rumah ibadah penganut agama lain di lingkungan warga.
SETARA mengaku, melakukan survei di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sepanjang 2010.
Menurut Wakil Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos, pelanggaran kebebasan beragama bergaris lurus dengan perkembangan organisasi radikal.
Wajib intoleran pada kemunkaran
Namun Fauzan menyayangkan pernyataan ini apalagi sampai mengaitkan pelanggaran kebebasan beragama bergaris lurus dengan perkembangan organisasi radikal. Kata Fauzan, kesimpulan ini terlihat sumir, apriori, dan tidak objektif.
Nahi munkar jangan dikaitkan dengan radikalisme. Orang beragama yang baik pasti intoleran terhadap kejahatan dan kemunkaran,” kata Fauzan kepada hidayatullah.com, Kamis (2/12).
Fauzan menjelaskan, aksi demonstrasi atau kecaman terhadap kedatangan artis porno dan protes terhadap penyelenggaraan Festival Gay di Indonesia dan berbagai aksi protes terhadap kejahatan moral lainnya, hal itu tidak bisa dikaitkan dengan intoleransi beragama.
“Kejahatan moral itu memang seharusnya dilarang,” imbuh Fauzan.
Menurutnya, seharunya SETARA menjelaskan juga pengertian radikalisme bagaimana yang dimaksud. Sebab dalam hal ini, , Islam dan agama apa pun terhadap kejahatan moral, pasti selalu intoleransi.
“Moderat juga tidak berarti toleran terhadap kejahatan,” tutur dia.
Pemerintah Membantah
Tak hanya fauzan, bantahan terhadap hasil survey SETARA Institute juga datang dari Pemerintah DKI Jakarta. Pemerintah DKI membantah anggapan bahwa warga Jakarta intoleran.
“Buktinya hingga saat ini tidak pernah ada protes terhadap pembuatan beribadah agama lain,” kata Kepala Biro Pendidikan Mental dan Spiritual DKI Jakarta Sukanta, dikutip harian Tempo.
Sukanta menegaskan, setiap umat agama yang memenuhi syarat dapat mendirikan rumah ibadah di tempat yang diinginkan. Persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah DKI Jakarta terahdap semua agama yang ingin membangun tempat peribadatan, Sukanta melanjutkan, juga diseragamkan.
Ia juga membantah adanya perselisihan antarmassa yang membawa kepentingan agamanya di Jakarta. Pemerintah juga selalu menyelenggarakan pertemuan dengan perwakilan umat beragama (FKUB).
“Pertemuan dilakukan setiap bulan. Nantinya FKUB yang akan mengintensifkan segala bentuk kebijakan dan keputusan dari DKI kepada masyarakat,” kata Sukanta.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan, para gubernur dan walikota di Asia-Eropa salut soal kerukunan hidup beragama di Jakarta.
Para peserta Pertemuan I Gubernur dan Walikota Asia-Eropa (ASEM GMM) beberapa waktu lalu mempelajari kehidupan antaretnis dan agama di Jakarta yang mereka anggap sangat baik.
Walikota Berlin, Jerman, Klaus Wowereit, di Jakarta, akhir Oktober lalu saat kegiatan ini digelar, menyatakan, Pemerintah Provinsi DKI terlihat mampu merangkul semua etnis dan seluruh pemuka agama untuk menjaga kehidupan kota itu.
Menurut dia, dialog lintas agama yang difasilitasi Pemprov DKI berhasil menjaga kehidupan di ibu kota yang warganya berasal dari berbagai etnis, budaya, dan agama.
“Kami melihat warga Jakarta dapat hidup berdampingan dengan baik meski mereka memiliki perbedaan agama, dan etnis. Artinya dialog lintas agama itu sangat penting,” jelasnya.
Dia menjelaskan, pemerintah Kota Berlin juga berusaha menciptakan kondisi toleransi agar agama dan kebudayaan dari 180 suku bangsa asal warga Berlin bisa hidup berdampingan.
“Itu sangat penting sekali. Jika tidak, orang tidak akan mau datang berkunjung ke Berlin karena takut tidak diterima sebab mereka berbeda. Jadi itu yang ingin kita pelajari dari Jakarta,” tuturnya. Jika benar survey ini kurang akurat, lantas mengapa buru-buru dipublikasikan? Ada apa sebenarnya. [ain/hidayatullah.com]