Kasus Suap Terbanyak Ditangani KPK
Dari 19 perkara, yang paling heboh kasus pemilihan Deputi Gubernur Senior BI
Hidayatullah.com–Sejak tahun 2004 hingga 2009, pengadaan barang dan jasa selalu menjadi “jawara” kasus korupsi berdasarkan jenis perkara yang masuk tahap penindakan KPK. Tapi pada 2010, yang nangkring di posisi pertama adalah kasus penyuapan. Jumlahnya 19 perkara. Begitulah yang tertulis dalam laporan tahunan KPK.
Dari 19 perkara suap itu, yang pa¬ling heboh ialah kasus suap pe¬milihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) Miranda Goeltom. Kasus ini semakin heboh saat KPK menjadikan 26 anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 sebagai tersangka. Sebelumnya, empat anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR pada periode yang sama telah menjadi terpidana perkara tersebut.
Para tersangka itu adalah Max Moein (PDIP), Agus Condro (PDIP), Daniel Tandjung (PPP), Panda Nababan (PDIP), Pazkah Suzetta (Golkar), Poltak Sitorus (PDIP), Anthony Zeidra Abidin (Golkar), Willem Tutuarima (PDIP), Ahmad Hafiz Zawawi (Golkar), Marthin Bria Seran (Golkar), Bobby Suhadirman (Golkar), Rusman Lumbantoruan (PDIP), TM Nurlif (Golkar), Asep Ruchimat Sudjana (PDIP), Kamarullah (Golkar), Baharuddin Aritonang (Golkar), Hengky Baramuli (Golkar), Sofyan Usman (PPP), Engelina Patiasina (PDIP), M Iqbal (PPP), Budiningsih (PDIP), Jefri Tongas (PDIP), Ni Luh Mariani (PDIP), Sutanti Pranoto (PDIP), Soewarni (PDIP), dan Marheos Pormes (PDIP).
Kasus lainnya adalah penerima¬an hadiah oleh pemeriksa pajak Bank Jabar pada tahun 2004 sebagai imbalan atas pengurangan jumlah pajak kurang bayar Bank Jabar tahun buku 2002. Pada kasus itu, KPK menetapkan Edi Setiadi selaku Kepala Kantor Pemeriksaan Pajak Bandung Satu sebagi tersangka.
Mengutip data KPK, Edi menerima imbalan senilai Rp 2,55 miliar atas pengurangan jumlah pajak kurang bayar Bank Jabar tahun buku 2002. Keterlibatan Edi terkuak dalam persidangan dengan terdakwa bekas Direktur Utama PT Bank Jabar Umar Sjarifuddin di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Desember 2009.
Dalam persidangan terungkap, tim pemeriksa pajak menurunkan jumlah kewajiban pajak kurang bayar menjadi Rp 7,27 miliar dari jumlah seharusnya Rp 51,80 miliar. Tim itu bertugas atas perintah Edi sebagai Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Bandung Satu. Tim tersebut terdiri dari Roy Yuliandri (ketua), Dedy Suwardi (pengawas), dan Muhammad Yazid (anggota).
Menurut tim penuntut umum KPK, ada “biaya konsultasi” sebesar Rp 1,55 miliar setelah tim pemeriksa pajak menurunkan jumlah pajak kurang bayar tersebut. Uang itu diterima Edi dalam dua tas melalui perantara. Pada 27 Juli 2010, majelis hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman 6 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan kepada Edi. Hukuman ini lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK, yakni 12 tahun penjara denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan.
Kasus lainnya ialah penermaan dana taktis pada proyek pembangunan jaringan distribusi gas (pemjadig) yang menggunakan APBN tahun 2003 dengan tersangka Direktur Keuangan PT PGN Djoko Pramono. Menurut data KPK, Djoko bersama-sama unsur direksi PT PGN lain memeras rekanan yang melaksanakan proyek pemjadig PT PGN tahun 2003 sebesar Rp 3,25 miliar.
Djoko juga disebut KPK menyuap dua anggota DPR 1999-2004 sebesar Rp 1,6 miliar. Dua anggota Dewan itu membantu menggolkan privatisasi PGN melalui initial public offering (IPO), dan menyetujui alokasi anggaran untuk PGN dalam APBN 2003 sebesar Rp 146 miliar.
Djoko dikenai hukuman dua tahun enam bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor. Putusan itu lebih ringan ketimbang tuntutan jaksa KPK, yakni empat tahun penjara.
Selanjutnya adalah perkara pemberian uang kepada hakim terkait perkara tanah. Kasus ini membuat hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta Ibrahim, pengusaha DL Sitorus dan pengacaranya, Adner Sirait terpaksa menginap di hotel prodeo. Tim penyelidik KPK menangkap Adner yang menyuap hakim Ibrahim.
Dari mobil Ibrahim, tim KPK menyita duit Rp 300 juta dalam pecahan Rp 100 ribu dan Rp 50 ribu. Duit itu tersimpan dalam dua amplop coklat di sebuah kantong kresek hitam.
Kasus Deputi BI
Kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) Miranda Goeltom bermula dari pengakuan anggota Komisi IX DPR 1999-2004 Agus Condro (PDIP), bahwa ia menerima Rp 500 juta dalam bentuk cek perjalanan.
Menurut Agus, sebelum pemilihan DGS BI, terjadi pertemuan antara sejumlah politikus PDIP dengan Miranda di salah satu hotel di Jakarta. Dia mengaku menghadiri pertemuan tersebut. Kemudian, cek sebesar Rp 500 juta ia terima sekitar dua hingga tiga minggu setelah Miranda terpilih sebagai DGS BI.
Sedangkan penyuapan yang dilakukan advokat Adner Sirait terhadap hakim Ibrahim berawal pada 18 Maret 2010. Saat itu Adner menemui Ibrahim di kantor Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) DKI Jakarta untuk menanyakan perkara sengketa tanah seluas 9,9 hektar di Cengkareng, Jakarta Barat, antara kliennya melawan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Ibrahim adalah hakim yang menangani kasus itu.
Di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, PT Sabar Ganda milik klien Adner, DL Sitorus memenangi perkara dan dianggap sebagai pemilik sah tanah itu. Pemrov DKI melalui Kepala Kantor Pertanahan Nasional Jakarta Barat mengajukan banding ke PT TUN DKI Jakarta. Ibrahim meminta uang Rp 500 juta untuk menguatkan putusan di tingkat pertama PTUN yang memenangkan PT Sabar Ganda.
Akhirnya mereka sepakat, uang yang diserahkan kepada Ibrahim sebesar Rp 300 juta. Adner kem¬dian melapor kepada DL Sitorus melalui telepon. Pada 29 Maret 2010, DL Sitorus menyerahkan cek BNI senilai Rp 300 juta kepada Adner melalui anak buahnya, Yoko Fera Mokoago. Uang itu lantas diberikan Adner kepada Ibrahim. Namun, percakapan Adner dengan Ibrahim melalui telepon sebelumnya telah disadap tim penyelidik KPK. Hasilnya, mereka diringkus tim tersebut.
Selanjutnya, kasus penerimaan Rp 1,55 miliar atas pengurangan jumlah pajak kurang bayar Bank Jabar tahun buku 2002 dengan tersangka Edi Setiadi, Kepala Kantor Pemeriksaan Pajak Bandung Satu. Terseretnya Edi antara lain karena keterangan terdakwa bekas Dirut PT Bank Jabar Umar Sjarifuddin di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Berdasar data KPK, Bank Jabar memiliki kewajiban pajak kurang bayar periode 2001 mencapai Rp 129,29 miliar, namun diturunkan nilainya dua kali yakni Rp 74,09 miliar hingga Rp 4,97 miliar. Sedangkan periode 2002 semula berjumlah Rp 51,80 miliar, turun menjadi Rp 25,57 miliar sampai Rp 7,27 miliar.
Pada penghitungan pajak 2001, Edi menyuruh anak buahnya, Deddy Suwardi meminta biaya konsultasi kepada pihak Bank Jabar-Banten sebesar Rp 1 miliar lebih atas bantuannya menurunkan nilai pajak kurang bayar. Untuk pajak periode 2002, hal serupa juga dilakukan Edi melalui Herry Achmad, perwakilan Bank Jabar.
Bikin Skala Prioritas
Anggota Komisi III DPR Deding Ishak menilai, banyaknya perkara penyuapan yang ditangani KPK pada 2010, belum bisa dikatakan sebagai prestasi yang menggembirakan.
“Kita harus melihat kasus suap dari sudut pandang yang konkret. Jika penerima suapnya saja yang diproses tanpa ada yang memberi suap, sama saja bohong,” tandasnya.
Hal itu, lanjut Deding, terlihat pada pengusutan kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom. Dia merasa KPK tebang pilih karena belum menetapkan satu pun tersangka dari pihak yang memberi suap.
Padahal, dari pihak yang menurut KPK disuap, sudah ada empat terpidana dan 26 tersangka. “Kasus itu tidak akan begini jika KPK membuat skala prioritas untuk menangkap pemberinya,” kata politisi Golkar ini.
Deding menambahkan, seharusnya KPK bisa membuat gebrakan manakala menangani perkara besar seperti kasus Bank Century, bukan hanya kasus penyuapan. “Sampai hari ini KPK belum bisa membuktikan indikasi korupsi pada kasus Bank Century. Saya harap kasus ini tidak terbengkalai begitu saja lantaran sibuk menangani kasus-kasus penyuapan,” ucapnya.
Meski begitu, Deding mengaku tidak berniat mengintervensi KPK. Dia hanya menyarankan KPK untuk membuat skala prioritas guna terciptanya pemberantasan korupsi yang merata dan tidak tebang pilih.
“KPK akan menemukan jati dirinya manakala setiap kasus dibuat skala prioritasnya. Dengan begitu isu tebang pilih tidak akan menyerang KPK,” ujarnya.
Dia pun membantah bahwa lemahnya kinerja KPK pada 2010 antara lain karena intervensi DPR. Menurut Deding, DPR terus mengapresiasi apa yang telah KPK kerjakan. “Namun, KPK terkadang bekerja tanpa membuat skala prioritas terlebih dahulu. Sehingga, pada perkembangannya terlihat tebang pilih,” katanya.
Kehilangan Taring
Banyaknya praktik penyuapan yang ditangani KPK pada tahun lalu, menurut Direktur LSM KPK Watch Yusuf Sahide, hanyalah upaya pencitraan. Soalnya, penyuapan merupakan perkara yang paling mudah ditelusuri.
“Semua orang tahu, KPK diterpa angin tak sedap pada tahun lalu. Lantaran itu, KPK hanya mampu menangani perkara penyuapan. Ini bukan prestasi yang membanggakan, tapi lebih kepada pencitraan,” nilainya.
Menurut Yusuf, membongkar kasus penyuapan tidak terlalu rumit dan tidak memakan waktu yang terlalu lama. “Kebanyakan kasus penyuapan terjadi karena KPK menyadap pembicaraan seseorang. Berbeda halnya dengan pengadaan barang dan jasa yang membutuhkan alat bukti konkrit dan memakan waktu yang banyak,” katanya.
Dia menambahkan, lembaga superbodi itu amat lemah pada tahun 2010 antara lain karena intervensi politik DPR yang sangat kuat. Sehingga, KPK bagaikan harimau yang kehilangan taringnya. “Kasus Bibit-Chandra yang selalu dipermasalahkan DPR, misalnya, membuat KPK loyo,” tandas Yusuf.
Yusuf berharap KPK kembali menemukan jati dirinya sebagai lembaga yang memerangi korupsi sampai ke akar-akarnya di bawah kepemimpinan Muhammad Busyro Muqoddas. KPK, pintanya, tidak perlu takut menghadapi intervensi dari berbagai pihak, termasuk DPR.
“Kebiasaan buruk pejabat parlemen ialah mengintervensi KPK dengan berbagai macam cara. Terakhir, mereka melakukannya saat mengusir Bibit-Chandra dalam rapat di Komisi III,” tandasnya.
Menurut dia, peristiwa tersebut mengindikasikan bahwa para anggota parlemen itu belum menyadari, korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.
“Harus ada yang menyadarkan mereka. Saya minta jangan ada siapa pun yang mengintervensi KPK,” ucapnya.*
Ilustrasi: Jakarta Press