Hidayatullah.com–Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono, Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi melakukan pertemuan tertutup di Kantor Kementerian Agama, Jakarta, Jum`at (14/10/2011). Selain tiga kementerian tadi, hadir pula perwakilan Polri, TNI, dan BIN.
Pertemuan dimulai pukul 09.30 WIB dan berakhir pukul 11.00 WIB. Adapun isi pertemuan itu membahas kemungkinan pembuatan payung hukum, dalam hal ini UU, yang mengatur masalah Kerukunan Umat Beragama.
Usai pertemuan kepada wartawan Menko Kesra mengatakan tentang perlunya dipikirkan, dibahas dan dikaji tentang Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama sebagai payung hukum untuk tindakan dua hal. Pertama, prevention atau pencegahan dan yang kedua represif.
“Dua-duanya penting tapi harus ada payung hukumnya,” ujarnya dikutip laman kemenag.
Dia menambahkan, kerukunan umat beragama penting dalam rangka menegakan NKRI, karena itu harus ada instrumennya. Tapi terkait struktur dan substansinya masih perlu kajian.
RUU Kerukunan Umat Beragama saat ini masih dibahas di tingkat internal pemerintah. Demikian pula struktur dan substansi naskah akademis, masih dalam pembahasan.
“Baru dibahas di DPR untuk masuk dalam prolegnas,” imbuh Agung.
Keberatan Tokoh Katolik
Sebelum ini, dalam diskusi bertema “Membedah Arah RUU-Kerukunan Umat Beragama (KUB)” yang digelar oleh Fraksi PKB dan The Asian Muslim Action Network, di gedung Nusantara I, komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Kamis (13/10/2011), seorang tokoh Katolik merasa keberatan jika dilarang menyiarkan agama hanya pada orang yang belum beragama atau atheis.
Sikap keberatan ini datang dari Dr. Franz Magnis-Suseno SJ, atau kerap dipanggil dengan Romo Magnis Suseno.
Menurut Romo Magnis, Pasal 17 dari RUU-KUB akan ada perdebatan menyangkut kata “Penyiaran agama” dalam konteks Agama Budha, Islam dan Kristiani sendiri adalah hal yang diamanatkan. Apalagi jika hanya boleh menyiarkan agama kepada orang-orang yang belum beragama saja.
“Demikian juga halnya pada Ayat 2 pada Pasal 17 dari RUU tersebut, penyiaran agama dibolehkan kepada orang-orang yang belum beragama atau atheis, sementara di Indonesia dalam kenyataannya tidak ada orang yang tidak beragama sesuai dengan keyakinannya masing-masing seperti agama yang dianut oleh saudara-saudara kita di pedalaman Sumba dan Kalimantan. Ini bagaimana,” tanya Romo Magnis dikutip tribunnews.com, Kamis (13/10/2011).
Ia juga keberatan jika mendirikan rumah ibadah harus ada izin. Ia mencontohkan kasus di Jerman, di mana negara ini tidak punya aturan untuk mengatur berdirinya rumah ibadah apalagi dikaitkan dengan keharusan ada izin dari warga setempat.
Seperti diketahui, selama ini fakta di lapangan menunjukkan, konflik dalam kasus ‘penyiaran agama’ (pemurtadan. red) terjadi ketika salah satu agama tertentu dinilai “memaksakan” ajaran agamanya kepada masyarakat yang telah memiliki atau memilih agama tertentu.*
Sumber foto: kemenag