Hidayatullah.com–Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat menyatakan tiga TKI terbebas dari hukuman mati di Arab Saudi menunjukkan perjuangan Satgas Penanganan WNI/TKI berhasil menuai hasil.
Pernyataan ini disampaikan Jumhur sebagaimana dikutip Antara, Selasa (27/01/2001), menyebutkan tiga TKI yang terbebas dari hukuman pancung adalah Bayanah binti Banhawi (29), Jamilah binti Abidin Rofi’i alias Juariyah binti Idin Ropi’i, dan Neneng Sunengsih binti Mamih (34). Mereka dibebaskan dengan pemaafan keluarga korban di samping tuduhan pembunuhannya yang tidak terbukti.
Ketiganya mulai dipulangkan pada Selasa 27 Desember 2011 oleh Satgas Penanganan WNI/TKI Terancam Hukuman Mati Di Luar Negeri pimpinan mantan Menteri Agama Maftuh Basyuni bekerja sama dengan KBRI Riyadh dan KJRI Jeddah. Jumhur mendapat informasi itu dari Deputi Perlindungan BNP2TKI Lisna Yoeliani Poeloengan yang juga anggot Satgas dan kini sedang berada di Riyadh, Arab Saudi.
Jumhur mengatakan Bayanah binti Banhawi, TKI kelahiran 23 Agustus 1982 beralamat Desa Ranca Labuh, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang, Banten adalah yang kali pertama dipulangkan dengan ditemani Ketua Satgas TKI.
Bayanah akan terbang menggunakan perusahaan penerbangan Saudi Airlines No SV 822 dari King Khalid International Airport, Riyadh, Selasa (27/12) pukul 22.00 waktu setempat dan tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten pada Rabu (28/12/2011) pukul 11.00 WIB.
Setibanya di Soekarno-Hatta, Bayanah akan diserahterimakan dari Ketua Satgas TKI kepada Kepala BNP2TKI Moh Jumhur Hidayat.
“Petugas BNP2TKI sejak Senin malam (26/12/2011) telah menghubungi keluarga Bayanah di Tangerang untuk dapat menjemput bersama-sama, selanjutnya Bayanah akan diantar hingga ke tempat asalnya,” kata Jumhur.
Pemulangan kedua dilakukan pada Rabu (28/12/2011) dari Bandara King Abdul Azis International, Jeddah terhadap Jamilah binti Abidin Rofi’i, TKI asal Cianjur, Jawa Barat. Keberangkatan Jamilah akan didampingi pejabat KJRI Jeddah hingga di tanah air.
Sedangkan yang ketiga untuk pemulangan Neneng Sunengsih binti Mamih, TKI yang lahir pada 6 Juni 1977 asal Desa Bojong Kalong, Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, itu direncanakan baru sekitar seminggu atau dua minggu kemudian dapat berangkat dari Ryadh, karena menunggu penyelesaian “exit permit” (izin ke luar) yang melihatkan pihak majikan tempatnya bekerja.
Jumhur menjelaskan, Bayanah yang berbekal paspor AA 988735 diberangkatkan ke Riyadh pada 29 Januari 2006 oleh PT Amanah Putera Pertama, Jakarta dan dipekerjakan sebagai TKI Penata Laksana Rumah Tangga di keluarga Abdullah Umar Al Munthairi.
Setelah masa kerja dua bulan, Bayanah terlibat kasus sangkaan pembunuhan anak majikannya yang berusia empat tahun sehingga membuat dirinya ditahan di penjara khusus wanita Al Malaaz, Riyadh. “Bayanah dituduh mematahkan tangan anak majikan yang mengalami cacat otak dan secara tidak sengaja anak tersebut tersiram air panas dari kran ‘washtafel’ pada saat Bayanah mengganti popok sehingga mengakibatkan kematian sang anak setelah dirawat selama 12 hari,” kata Jumhur.
Namun demikian, Bayanah mendapat pemaafan atas ketidaksengajaannya itu. Ia lalu dikenai denda berupa pembayaran diyat sebesar 55.000 Real Saudi dan telah dibayar pihak KBRI.
Setelah itu, pada 26 Oktober 2011, Ketua Satgas TKI bertemu Gubernur Riyadh untuk menanyakan pembebasan Bayanah yang tidak terbukti membunuh korban. Pada 30 Oktober 2011, kantor Gubernur Riyadh mengirim telegram ke penjara Al Malaaz untuk membebaskan Bayanah.
Untuk kasus Jamilah binti Abidin Rofi’i, tuduhannya melakukan pembunuhan atas majikannya, Salim Al Ruqi (80) tetapi tuduhannya tidak kuat hingga akhirnya mendapat pemaafan keluarga korban yang diwakili anaknya, Ali Seha Al Ruqi di hadapan Raja Abdullah tanpa kewajiban membayar diyat.
Sedangkan Neneng Sunengsih binti Mamih, pemegang paspor AP 482272 ditempatkan oleh PT Jasmindo Olah Bakat untuk bekerja di Riyadh pada keluarga Ashraf Roja Al Rajan. Neneng menghadapi tuduhan membunuh bayi majikannya berusia empat bulan setelah meminumkan susu, yang membuatnya meringkuk di Penjara Al Jouf, Riyadh. Karena kasusnya juga tidak terbukti secara hukum, Neneng dibebaskan dengan tidak diharuskaan memenuhi diyat.
Diplomasi Habibie
Sebelumnya, sebagai upaya perlindungan TKI dari hukuman mati, Satuan Tugas perlindungan TKI (BNP2TKI) meminta bantuan mantan presiden RI BJ. Habibie guna melobi pihak-pihak terkait di Arab Saudi untuk membebaskan Tuti Tursilawati dari ancaman hukuman mati.
Upaya ini mulai menampakkan hasil setelah mantan Presiden RI Baharuddin Jusuf (BJ) Habibie bertemu dengan Pangeran Al Walid bin Talal Al Saud pada Ahad (25/12/2011) di kantor pusat Pangeran Walid, Kingdom Emperium, Riyadh.
Pertemuan Habibie dan Pangeran Walid berlangsung lancar dalam suasana akrab, selain membuahkan kesepakatan kedua pihak untuk upaya penyelamatan Tuti. Jumhur menyampaikan itu berdasarkan informasi dari juru bicara Satuan Tugas (Satgas) WNI/TKI Terancam Hukuman Mati di Luar Negeri, Humphrey R Djemat.
Dalam pertemuan itu, BJ Habibie didampingi Ketua Satgas Maftuh Basyuni, Dubes Gatot Abdullah Mansyur, Humphrey R Djemat, serta Asisten Deputi Koordinasi Pemajuan dan Perlindungan HAM Kementerian Koordinator Polhukam Kolonel (CPM) Otte Ruchiyat, sedangkan Pangeran Walid didampingi sejumlah staf pribadinya.
Hasil pertemuan Habibie-Walid ditindaklanjuti Kedutaan Besar RI di Riyadh baik berupa komunikasi dengan Pangeran Walid maupun mengupayakan langkah-langkah bersama sesuai komitmen yang akan dilaksanakan Pangeran Walid, guna penyelamatan nasib Tuti.*