Hidayatullah.com—Selain masalah pernikahan dan masalah pendirian rumah ibadah, rekomendasi yang dipersoalkan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Saharuddin Daming dalam sidang Rapat Paripurna Komnas HAM guna mengesahkan rancangan rekomendasi naskah akademik Rancangan Undang-Undang tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan (RUU KUB), kemarin juga menyangkut beleid Undang-undang UU Nomor 1 PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama.
Saharuddin Daming mengaku tak habis pikir mengapa beleid yang sudah lulus di Mahkamah Konstitusi (MK) ini kembali dipersoalkan. Apalagi sudah jelas bahwa DPR tidak boleh membuat undang-undang yang bertentangan dengan keputusan MK.
Menurut anggota Komnas HAM yang tuna-netra ini, dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945, disebutkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Namun, kata Daming, harus dibedakan antara kebebasan beragama dan merusak agama. Untuk kebebasan beragama memang harus dijunjung tinggi. Tapi bagaimana dengan yang “merusak” agama dan merusak keyakinan?
“Tapi kita juga punya hak untuk menjaga agama dari mereka yang mau merusak keyakinan kita dan itu harus dihormati,” terangya.
Selain itu, keberatan Daming lainnya adalah adanya desakan agar keterangan agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dihapus alias tidak perlu dicantumkan. Menurutnya, bagaimana jadinya apabila ada orang yang, misalnya, kecelakaan di jalan kemudian meninggal, namun dalam lembar KTP tidak tercantum keterangan agama. Bagaimana yang bersangkutkan akan dishalatkan atau dikremasi? Sedang identitas agamanya tidak ada. Dan masih banyak efek lain menurutnya.
Selanjutnya, ia mengajak kepada semua komponen bangsa untuk lebih mempelajari sejarah ketatanegaraan negara Indonesia. Tampaknya, menurut Daming, dalam dunia modern saat ini orang sudah sulit membedakan mana benar dan yang mana yang bathil.
“Saya berharap, Pansus RUU Kerukunan Beragama bisa melakukan yang terbaik untuk bangsa dan berani melawan pandangan sekuler dan liberal yang menginginkan Indonesia menjadi negara bebas sebebas-bebasnya seperti di Barat,” tukasnya.
Pria asal Sulawesi Selatan (Sulsel) yang merupakan seorang doktor tunanetra pertama di bidang hukum di Indonesia ini memang kerap berseberangan pendapat dengan koleganya di Komnas HAM.
Akibat kevokalannya dan perbedaannya dengan anggota Komnas HAM yang lain, di sejumlah miling list (milis) atau grup diskusi di internet beredar petisi penolakan terhadap dirinya dengan tuduhan fundamentalis dan eksklusif.
Untuk diketahui, pemerintah kini sedang menyiapkan Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama untuk mengatur pencegahan dan penindakan kemungkinan munculnya konflik atas nama agama.*