Hidayatullah.com — Menteri Agama Republik Indonesia Suryadharma Ali menyatakan sistem pendidikan di pondok pesantren yang 24 jam sehari, kini banyak diadopsi oleh lembaga-lembaga pendidikan bertaraf internasional yang berbiaya mahal, sedang santri yang mondok, membayar pondok dengan biaya ala kadarnya. Namun demikian Menag menambahkan, output pondok pesantren luar biasa.
“Oleh karenanya, tidak heran jika banyak alumni dari pondok pesantren tidak hanya menjadi kyai atau tokoh agama, melainkan juga menjadi pengusaha, politisi, TNI/Polri, menteri bahkan presiden,” kata Menag pada acara Simposium Nasional Jaringan Pendidikan Hai`ah Ash-Shofwah, Himpunan Alumni Abuya Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki al-Hasani di Pondok Pesantren Mambaus Sholihin Desa Suci, Kecamatan Manyar Kabupaten Gresik Jawa Timur, Sabtu (7/4/2012) dikutip dari laman resmi Kemenag.
Menag mengatakan, banyak lulusan pondok pesantren yang mampu beradaptasi baik dengan berbagai disiplin ilmu dalam masyarakat. Mereka mempunyai kemampuan lebih dibanding alumni lain, minimal, misalnya mampu memimpin doa, tahlil, memandikan mayat dan hal-hal kecil yang sebenarnya sangat dibutuhkan masyarakat.
Selain itu, kata Menag, alumni pondok pesantren juga mampu mengajar, berkhutbah dan berceramah agama, membutuhkan skill yang rumit. Selain itu, banyak juga alumni ponpes yang ingin jadi bupati, gubernur, walikota, dewan dan lain sebagainya.
“Secara kualitas para alumni pondok pesantren itu mampu, namun, sayangnya, banyak dari alumni ponpes yang ketika diminta persyaratan minimal seperti ijazah SMU/sederajat, banyak yang gagal karena tidak punya. Karena saat ini masih banyak ijazah ponpes yang sampai saat ini tidak diakui pemerintah. Dampaknya banyak yang kecewa,” ungkap Menag.
Karenanya, sambung dia, hal ini harus dicermati dengan seksama, bahwa sangat penting, ponpes mempunyai kurikulum yang berstandar nasional. “Hal inilah yang sedang kita pikirkan, kita minta masukan dari para kyai dan kita diskusikan,” ungkap Menag.
Menag melanjutkan, pondok pesantren harus selalu mengikuti perkembangan zaman, dengan tanpa kehilangan jati dirinya. Kita harus berusaha dengan keras, agar pendidikan Islam mampu meningkat, bersaing dan beradaptasi dengan alam sekitar. Hal ini penting, karena ilmu pengetahuan selalu berkembang dengan pesat, ujarnya.
Di masa mendatang, lanjut Menag, Pondok Pesantren tidak selalu bicara tentang ilmu agama dan kitab kuning, namun juga harus belajar tentang ekonomi, ilmu pengetahuan, bahkan bila perlu sampai pada teknologi nuklir. Meskipun berbahaya, namun nuklir mempunyai banyak manfaat tak terhingga dalam kehidupan kita, seperti untuk pengawetan makanan, membunuh penyakit dan lain sebagainya, tegasnya.
“Kami menargetkan, sebentar lagi, nuklir akan (kami usahakan) masuk pesantren,” ujar Menag dengan semangat disambut antusias peserta simposium.*