Hidayatullah.com– Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar DPR RI tidak terburu-buru melakukan pembahasan atas draft revisi undang-undang (RUU) tindak pidana terorisme yang diajukan pemerintah.
Sebab, draft RUU Terorisme itu dinilainya masih memiliki banyak masalah. Demikian disampaikan Miko Ginting, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) di kantor KontraS, Jakarta Pusat, belum lama ini. Koalisi tersebut terdiri dari KontraS, PSHK, Imparsial, ICJR, dan LBH Pers.
Sebelum membahas draft tersebut, DPR didesak mengadakan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja aparat penegak hukum (Densus 88). DPR juga didesak membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat sipil, untuk memberikan masukan terkait pasal yang dinilai masih bermasalah dalam RUU itu.
Sedikitnya ada 6 masalah yang diungkapkan Koalisi Masyarakat Sipil. Tiga masalah pertama mengenai kewenangan penangkapan, mengenai kewenangan pencabutan status kewarganegaraan, dan mengenai konsep deradikalisasi terorisme. [Baca: Koalisi Masyarakat Sipil: Draft Revisi UU Terorisme Banyak Masalah]
Masalah keempat, jelas Miko, mengenai akuntabilitas kinerja aparat penegak hukum dalam pemberantasan terorisme. Ia melihat, dalam draft RUU itu tak ada pembahasan mengenai bentuk pertanggungjawaban dan akuntabilitas penegak hukum saat melakukan operasi.
“Kasus salah tangkap yang dilakukan oleh aparat tidak hanya satu dua kali terjadi. Penyiksaan selama proses pemeriksaan bahkan berakibat pada kematian,” ungkapnya.
“Dalam kerangka hak asasi manusia (HAM), tindakan tersebut masuk dalam extrajudicial killing atau pembunuhan yang dilakukan di luar sistem hukum tanpa putusan pengadilan,” sambungnya.
Permasalahan kelima, terangnya, seringnya terjadi kesalahan dalam operasi pemberantasan terorisme, yang mengesampingkan kerugian yang dialami berbagai pihak, baik korban maupun pihak lain. Selain materil, kerugian itu juga secara imateril, seperti trauma psikis, stigma teroris terhadap korban salah tangkap, dan sebagainya.
Cenderung Abaikan Korban
Terakhir, jelasnya, dalam RUU Terorisme yang sedang dibahas, cenderung mengabaikan aspek penanganan korban terorisme. Meskipun, kata dia, dalam berbagai UU hak korban terorisme telah tercantum, prosedur yang ada begitu memberatkan korban.
“Kondisi ini menyeluruh, dari mulai bantuan medis, psikologis, sampai yang paling sulit untuk didapatkan yaitu kompensasi,” tandasnya.
Ia mencontohkan, dari banyaknya pengadilan atas tindak pidana terorisme yang terjadi di Indonesia, hanya dalam kasus Pengeboman JW Marriot hakim mengamanatkan pemberian kompensasi bagi korban.
“Sisanya di kasus terorisme lain sama sekali tidak ada (pemberian kompensasi). Padahal, perlu digarisbahwahi, seharusnya pemberian kompensasi bagi korban bersifat segera, tanpa terlebih dahulu menunggu putusan pengadilan,” pungkas Miko.*