Hidayatullah.com — Umat Islam di Sulawesi Selatan baru saja kehilangan sosok ulama pendidik yang tangguh. Seperti diwarta media, pada hari Ahad, 13 Mei 2012, sehari setelah beliau menikahkan keluarganya di Soppeng, AGH Abdul Wahab Zakariyah meninggal dunia di RS Awal Bros, Makassar. Ia meninggalkan dua istri dan enam orang anak.
Di mata Pimpinan Pondok Pesantren Darud Da’wah wal Irsyad (DDI) Ambo Dalle, Prof Dr AGH Faried Wadjedy MA, almrahum Anre Gurutta (guru kita, red) Abdul Wahab Zakariyah MA adalah sosok ulama yang dikenal penyabar.
“Tak banyak orang, bahkan yang telah menyandang status ulama sekali pun, yang benar-benar mampu mempraktikkan kesabaran itu dalam kehidupan sehari-hari,” kata Prof Dr AGH Faried Wadjedy MA, sesaat sebelum memimpin salat jenazah AGH Abdul Wahab Zakariyah, seperti dikutip media lokal Fajar, Senin.
Dalam diri AGH Abdul Wahab Zakariyah, lanjut Prof Faried, kesabaran itulah yang terus menuntun kesehariannya yang tidak sekadar seorang ulama, tetapi juga sebagai pengasuh kampus santri putra. Hidup di sebuah pebukitan dengan segala keterbatasan, kalau tidak ingin disebut serba kekurangan, tidak menyurutkan semangatnya dalam menggembleng para santrinya. Kesabarannya itulah yang menjadikannya salah satu ulama yang melegenda. Sudah sulit mencari penggantinya.
Dari riwayat singkat mengenai kehidupan AGH Abdul Wahab Zakariyah, boleh dikata seluruh hidupnya sudah diwakafkan untuk umat. Ulama kelahiran Sumenep, Jawa Timur, 19 Desember 1947 ini mengawali pendidikannya sebagai santri pemula di Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) di Pesantren DDI Mangkoso — sekarang berubah DDI -Ambo Dalle — pada tahun 1960. Pendidikan lanjutannya, mulai dari PGA hingga sarjana muda Syariah, juga dihabiskan di DDI Mangkoso.
Pada 1974, AGH Abdul Wahab Zakariyah menamatkan pascasarjananya pada Syariah dan Politik di Universitas Al Azhar Kairo Mesir.
Namun dari Mesir, ulama yang akrab disapa Gurutta ini langsung kembali ke Pondok Pesantren DDI Mangkoso untuk mengajar. Pada 1981, dia diangkat sebagai Kepala Sekolah Madrasah Aliyah DDI Mangkoso, pada Kampus II Tonrongnge. Menjelang tahun 1990, dia dipercayakan sebagai Pimpinan Pondok Pesantren DDI Mangkoso, khusus Kampus II Putra Tonrongnge. Jabatan pimpinan kampus II dan kepala sekolah itu, terus dipegangnya sampai sekarang.
Gurutta sudah mulai mengajar di Pondok Pesantren DDI Mangkoso sejak 1971 hingga meninggal dunia. Itu berarti, sudah ada ribuan, bahkan mungkin ratusan ribu santri yang sudah dia didik.
Di kalangan santri, Gurutta dikenal sebagai ulama berwatak keras. Hukuman fisik pun paling sering dijatuhkan untuk santri yang tidak mematuhi aturan pesantren. Seperti telat tiba di masjid, salah baca kitab kuning, gagal mengartikan bahasa Arab, hingga tidak menunaikan salat sunnah.
“Beliau itu tipe ortodoks-modern. Dia keras, karena seperti itu yang dia dapatkan waktu sekolah. Banyak (orangtua santri) yang tidak pahami itu,” kata AGH Faried Wadjedy.
Namun di luar wataknya yang keras, Gurutta juga dikenal sebagai pendidik yang humoris. Hampir setiap pengajian kitab kuning yang dibawakannya, selalu diselipi humor yang membuat santri tertawa.
Di lain sisi, Gurutta juga dikenang sebagai sosok yang sangat terbuka kepada santrinya. Prof Dr AGH Mustamin Arsyad, santri angkatan pertama yang diajar almarhum mengungkapkan hal itu.
“Meski beliau guru saya, tapi beliau tidak pernah sungkan jika ingin berkonsultasi. Beberapa kali ketika ingin membawa pengajian atau seminar, beliau menelepon hanya ingin memastikan ayat-ayat Alquran,” kenang AGH Mustamin yang mewakili para santri.
Tak hanya kisah kepribadian ulama. Di kalangan santri, karamah-karamah Gurutta juga menjadi perbincangan. Sejumlah alumnus santri, yang baru kali ini kembali menginjakkan kakinya di kampus, kaget menemukan tempat berwudu di samping masjid. Karena pada masanya, tempat wudu itu belum ada.
Konon, sumber air yang dialirkan ke tempat wudu itu didapatkan melalui mimpi Gurutta. Memang nyaris tak masuk akal karena Tonrongnge berada di daerah ketinggian. Tapi kenyataannya, setelah dibuatkan sumur bor, air itu langsung muncul. Sayangnya, mesin penghisap air itu rusak.
Selama berpuluh-puluh tahun, Gurutta membawakan pengajian usai Salat Maghrib dan usai Salat Subuh. Kitab kuning yang diajarkannya adalah Fathul Muin, Al Ibadah, Khazinatul Asrar, Riyadus Shalihin dan Kifayatul Akhyar. Gurutta juga rutin memimpin barazanji pada malam Jumat, serta zikir batin pada subuh harinya.
“Kadang beliau yang jadi pengganti jika ada guru yang berhalangan,” kata seorang santri. Namun beberapa tahun terakhir, tugas sebagai pengayom umat itu semakin berat.
Apalagi sejak AGH Abdurrahman Ambo Dalle meninggal dunia, disusul beberapa ulama kharismatik lainnya, Gurutta serta ulama yang masih ada pun harus mengisi sejumlah daerah yang tidak lagi memiliki ulama. Jadwal pengajiannya pun kian padat. Terutama untuk Kota Makassar.
Tingginya mobilitas Gurutta inilah yang diduga mempengaruhi kesehatannya. Hingga pada 2009 lalu, Gurutta terkena stroke. Namun begitu merasa sehat, Gurutta kembali lagi ke aktivitas dakwahnya.
Namun pada Sabtu 12 Mei, usai menikahkan keluarganya di Soppeng, Gurutta tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri. Dia pun langsung dilarikan ke RS setempat, lalu dirujuk ke RSI Faisal, lalu dievakuasi lagi ke RS Awal Bros, Makassar. Pada Minggu 13 Mei, pukul 07.45, dokter menyatakan ulama legendaris ini telah berpulang ke Rahmatullah. Gurutta meninggalkan dua istri dan enam orang anak.
Para ulama, ustaz, santri dan alumni yang berjumlah ribuan pun hadir di Tonrongnge, untuk mengantarkan sang guru ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Gurutta dimakamkan di Kampus II Tonronge. Selamat jalan Gurutta.