Hidayatullah.com–Korupsi pengadaan kitab suci al-Qur’an oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anaknya, memberikan gambaran paling buruk bagi bangsa Indonesia. Bisa dibayangkan, kalau al-Qur’an yang seharusnya dihormati dan ditakuti, justru berani dikorupsi, hal ini menandakan kondisi bangsa Indonesia telah berada pada titik nadir.
Pernyataan tersebut disampaikan Fauzan Al Anshari, Direktur Lembaga Pengkajian Syariat Islam (LPSI), kepada hidayatullah.com, Selasa (02/07/2012).
“Ini sebenarnya pukulan terakhir yang harus diterima oleh umat ini. Tidak ada lagi bagian dari kehidupan bernegara ini yang tidak ada korupsi. Semua ada korupsinya,” tandasnya.
Dalam tinjauan Syariat Islam, pelaku korupsi kitab suci al-Qur’an harus mendapatkan hukuman ta’zir (kebijakan hakim), bukan hudud (penghukuman berdasarkan nash).
Hukuman ta’zir akan memberikan keadilan dan efek jera bagi pelaku korupsi. Bagi Fauzan, pelaku seperti ini tidak cukup hanya potong tangan, harusnya lebih.
“Potong tangan tidak adil, karena jika pencuri seperempat dinar harus dipotong tangan, maka korupsi sampai milyaran rupiah harus dipotong leher,” sambungnya.
Tapi tentusaja, keputusan tersebut nantinya akan diputuskan oleh Mahkamah Syariah (qodhi) setelah meneliti besar kecilnya kasus korupsi.
“Besar kecilnya akan dinilai oleh Mahkamah Syariah. Disana akan diputusukan hukum apa yang pantas,” tegasnya.
Baginya, efektifitas hukuman mati pagi pelaku korupsi sudah dirasa mendesak. Ia mencoba mengambil contoh kasus di Negeri China. Di Negeri Tirai Bambu tersebut terjadi peningkatan ekonomi secara signifikan setelah kebijakan hukuman mati bagi para koruptor diberlakukan.
“Tahun 2005, China menghuukum mati 3500 koruptor. Dampak perkembangan ekonominya bisa sampai 13 persen, dua kali lipat dari Indonesia,” paparnya.
Lebih lanjut, Fauzan mengatakan, jika ada presiden Syariah oleh sebagaian umat Islam, sedikitnya mampu mengembalikkan Indonesia ke hukum lebih adil, apalagi menyangkut kasus-kasus korupsi. Sebab al-Qur’an tidak lagi dipungut dari APBN.
”Seharusnya pegadaan kitab suci al-Qur’an berasal dari dana abadi umat Islam. Contohnya dari sisa haji. Ini kan tidak, tapi dari APBN didalamnya ada pajak orang kafir gak boleh.”*