Hidayatullah.com–Sikap akomodir pemerintah Indonesia atas kehadiran pangkalan AS di Darwin menunjukkan lemahnya paradigma kepempinan Indonesia dalam melihat ancaman dari luar.
“Ketidaksensitifan Indonesia melihat ini sebagai ancaman bukti bahwa pemerintah sudah terkooptasi,” jelas Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ismail Yusanto, kepada hidayatullah.com, Jum’at (06/07/2012).
Akibat kesalahan pada level paradigmatik tersebut, mungkin saja pemerintah tidak melihat langkah AS sebagai ancaman tapi justru bantuan bagi Indonesia dalam bidang keamanan, tandasnya dengan membeberkan bagaimana AS mengeruk kekayaan SDA di Freeport.
Sayangnya, tambah Ismail, hal ini menjadi sangat kontras dengan perlakuan yang diterima umat Islam Indonesia. Ketika umat Islam ingin melakukan kebaikan untuk mengatur negara ini dengan syariah malah dianggap sebagai ancaman.
“Kalau ada warganya yang ingin menegakkan syariat dianggap ancaman seperti Ustadz Abu (Abubakar Ba’asyir, red). Bahkan nama-nama yang kita tidak tahu langsung dianggap teroris dan ditembak. Padahal tuduhan itu belum terbukti benar,” tegasnya.
Oleh sebab itu, seharusnya pemerintah di sini menjadi pelindung bagi warganya dari kepentingan pihak asing.
“Seperti yang diatur oleh konstitusi bahwa pemerintah dituntut untuk meningkatkan keamanan di wilayahnya,” pesannya.
Selain itu Ismail berharap pada masyarakat untuk terus berfikir sadar dan kritis dalam melihat ancaman-ancaman yang datang dari pihak asing.
Sebelumnya, dalam pertemuan antara Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa, Menteri pertahanan RI, Purnonomo Yusgiantoro dengan pihak Australia, Maret lalu, tidak menyinggung perihal pangkalan AS di Darwin. Marty Natalegawa mengatakan bahwa hubungan Indonesia dengan Australia kini berlangsung “kuat, solid, dan komprehensif.”
Diberitakan, dalam Forum KTT Asia Timur, di Nusa Dua, Bali, ada pertemuan bilateral antara PM Australia, Julia Gillard, dan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama. Di forum itu Obama dan Gillard dikabarkan memberi jaminan kepada Presiden Susilo Yudhoyono (SBY), bahwa kehadiran 2.500 marinir Amerika Serikat (AS) di Darwin itu tidak untuk mengubah ketenangan yang ada di ASEAN, atau kawasan Asia Tenggara.
Sebelum ini, HTI menganggap penempatan pangkalan militer AS di Darwin dekat dengan Indonesia semata untuk semakin menancapkan pengaruhnya dan memperbesar kepentingan ekonomi. [baca: AS Takut Pengaruh Arab Spring Menular ke Indonesia].*