Hidayatullah.com — Lama tak terdengar bunyinya, International Crisis Group (ICG) pun bersuara ihwal tragedi kemanusiaan di Rohingya, Myanmar. Sidney Jones, ICG Senior Advise membantah kalau lembaganya tak segera bersikap dalam masalah ini.
“Kami sudah mempersoalkan masalah Rohingya sejak lama,” katanya dalam perbincangan dengan hidayatullah.com, Rabu (08/08/2012).
Mengutip rilis yang telah dikeluarkan lembaganya pada 12 Juni 2012 lalu, Sidney menuturkan bahwa sudah lama suku Rohingya mengalami diskriminasi yang berat baik dari pemerintah maupun dari mayoritas Rakhine yang beragama Buddha.
“Pada umumnya kewarganegaraan mereka ditolak, walaupun sudah lama tinggal di Myanmar secara turun-temurun, dan harus pakai surat jalan untuk keluar dari desanya, yang menyulitkan mereka cari kerja, belajar atau dapat pengobatan medis,” terangnya.
Menurut Sidney, ada banyak peraturan diskriminatif yang dialami etnis Muslim Rohingya, termasuk pembatasan terhadap perkawinan, pajak yang sewenang-wenang dan pekerjaan terpaksa. Pada masa lalu, lanjut dia, perlakuan ini menyebabkan gelombang pengungsian ke Bangladesh dan pembentukan beberapa kelompok kecil yang bersenjata.
“Sulit untuk menentukan dengan persis kenapa serangan baru-baru ini terjadi. Pada September lalu, pembatasan terhadap internet dihapus, ada yang bilang bahwa pesan-pesan yang bersifat penghasutan dan rasis disebar melalui internet. Hanya, karena akses internet masih sedikit di Myanmar, apalagi di Rakhine, kemungkinan bahwa faktor ini adalah faktor utama agak tipis,” jelas dia.
Internatinal Crisis Group (ICG) mengeluarkan sejumlah rekomendasi di antaranya peraturan diskriminatif supaya dihapus dan investigasi dengan cepat serta transparansi terhadap kekerasan supaya dilakukan. Selain itu, rekomendasi agar darurat militer dicabut dan demokrasi bisa diperkuat.
“Pemerintah seharusnya mengimplementasikan program untuk memperbaiki hubungan antara komunitas Rohingya dan Rakhine,” katanya.
Ia menambahkan, harus segera dibentuk forum supaya semua grievances (keluhan) dari suku minoritas mana pun bisa didengar.*