Hidayatullah.com– Kordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) berhadap agar pemerintah Indonesia bisa meminta maaf pada simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965.
Pernyataan KontraS ini disampaikan menanggapi pernyataan Menteri Kordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Djoko Suyanto terkait peristiwa 1965 hari Selasa yang mengatakan bila pemerintah tidak perlu meminta maaf atas tragedi komunis tahun 1965-1966 karena hal tersebut dilakukan demi menyelamatkan negara.
Menurut Suyanto, pembunuhan massal pada era Soeharto tersebut justru bermanfaat.
“Kalau peristiwa itu tak terjadi, negara kita tidak akan seperti sekarang ini”, katanya kepada media.
Menurut Haris Azhar, pernyataan Suyanto itu hanya mendukung impunitas pelaku kejahatan.
“Suyanto seharusnya tidak mengeluarkan pernyataan seperti itu. Pernyataannya hanya mendukung impunitas terhadap pelaku kejahatan masa lalu,” ujarnya dikutip ucanews.com, Selasa (02/10/2012)
Menurut Azhar, pernyataan Suyanto menunjukkan adanya kecenderungan kuat pemerintah untuk mengabaikan saja upaya pengungkapan kasus 1965-1966 yang selama ini terus diperjuangkan oleh aktivis HAM dan keluarga korban.
“Dalam konteks HAM, pengakuan negara merupakan salah satu pilar penting dalam penanganan peristiwa pelanggaran HAM masa lalu. Negara juga harus menindaklanjutinya dengan perumusan aturan hukum yang menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa itu adalah kejahatan. Kejahatan tersebut kemudian diuji lewat proses hukum ataupun non-hukum”.
Padahal menurut Azhar, permintaan maaf bisa menjawab kerinduan keluarga korban yang terus mempertanyakan keberpihakan negara untuk mengungkap apa yang dialami keluarga mereka.
”Menyelesaikan masalah HAM masa lalu juga berguna agar bangsa kita tidak terus mereproduksi aksi-aksi pelanggaran HAM baik saat sekarang maupun pada masa yang akan datang”, tambah Azhar.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Nurcholis juga mendukung Azhar. Ia menyatakan, pernyataan Suyanto mencederai hati korban dan kemanusiaan.
“Pemerintah harus memahami posisi korban. Menurut saya, pernyataan (Djoko) itu tidak produktif sebab makna rekonsiliasi untuk korban lebih besar lagi, bukan hanya sekadar minta maaf lalu urusannya selesai,” ujar Nurcholis dalam diskusi tragedi kemanusiaan 1965-1966 di Universitas Indonesia, Depok.
Akhir Juli lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menyampaikan hasil investigasinya atas peristiwa tahun 1965-1966 tersebut.
Komnas HAM menilai, saat itu telah terjadi pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran penduduk, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan dan penghilangan orang secara paksa.
Atas dasar itu, Komnas HAM merekomendasikan opsi agar pemerintah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM dan Presiden Susilo B Yudhoyono diminta melakukan rekonsiliasi dan meminta maaf.
NU Menolak
Namun usulan itu pernah ditolak Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Bulan Agustus lalu, PBNU menyatakan penolakanya atas munculnya wacana permintaan maaf Presiden RI kepada para mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang disebut sebagai korban Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965-1966.
”Menolak keras semua bentuk permintaan maaf dari Pemerintah/Presiden RI terhadap korban G30S / PKI 1965-1966. Tentang rekonsiliasi, biarkan berlangsung secara alamiah dan berbudaya,” ujar Wakil Ketua PB NU, As’ad Said Ali, bersama Ketua Umum Gerakan Pemuda (GP) Anshor, Nusron wahid dan sejumlah tokoh lainnya saat membacakan pernyataan sikap di Kantor PB NU, Jakarta, Rabu (15/08/2012).
Menurut As’ad, permintaan maaf itu seyogianya memang tak perlu dilakukan guna melindungi dan menghormati para keturunan PKI. ”Untuk apa minta maaf, karena ada akan aspek hukum bila seperti itu. Jadi lupakan saja karena justru dengan ini maka kami akan melindungi dan menghormati teman-teman turunan PKI,” katanya kala itu.*