Hidayatullah.com–Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Lukmanul Hakim berharap RUU Jaminan Produk Halal (JPH) mewajibkan produsen melakukan sertifikasi halal produk-produknya, termasuk produk obat-obatan.
“Kami berharap pendaftaran produk halal, termasuk obat-obatan bersifat mandatory (wajib), bukan voluntary (sukarela), karena produk halal merupakan hak umat Islam,” kata Lukmanul Hakim ketika dihubungi hidayatullah.com, Kamis (11/4/2013) siang.
Lukmanul Hakim tidak menafikan jika ada pihak-pihak yang menginginkan pendaftaran produk halal khususnya produk obat-obatan bersifat sukarela.
“Ada langkah-langkah dari pihak farmasi yang menginginkan bersifat sukarela. Mereka beralasan jika setiap obat itu bersifat darurat, sehingga tidak perlu dilakukan sertifikasi halal,” jelas Lukmanul Hakim.
LPPOM MUI meyakini hampir di seluruh produk obat-obatan mengandung zat-zat haram ataupun najis. Karena, jelas Lukmanul Hakim, 90 persen bahan obat-obatan diimpor dari luar negeri.
“Itu sebabnya mungkin mereka tidak ingin obat-obatan ini diwajibakan melakukan sertifikasi halal. Mereka selalu beranggapan jika obat itu bersifat darurat,” terangnya.
Padahal, kata Lukmanul Hakim, anggapan itu jelas keliru. Tidak semua obat bersifat darurat. Jika kondisi seseorang kritis, misalnya sakit jantung, tetapi tidak ada pilihan obat, maka itu boleh dikatakan darurat.
Lukmanul Hakim menyarankan agar pihak farmasi selalu melakukan inovasi dalam memproduksi obat-obatan yang halal.
“Jika setiap produsen farmasi beranggapan bahwa obat adalah darurat, maka itu akan mematikan kreatifitas dan inovasi untuk menciptakan obat-obat alternatif yang halal,” jelasnya.
Sementara itu, anggota Komisi VIII DPRI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), Nasir Djamil menginginkan agar sifat pendaftaran produk halal adalah mandatory dengan masa transisi lima tahun.
“Kami dari Fraksi PKS menginginkan sifatnya mandatory,” jelas Nasir kepada hidayatullah.com.*