Hidayatullah.com– Satu subuh di tahun 1974. Suara adzan baru saja selesai bergema untuk wilayah Karang Bugis, Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim). Para santri Hidayatullah tampak asyik membaca al-Qur’an. Sebagian lagi sedang menikmati dua rakaat shalat sunnah qabliyah fajar. Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kedatangan orang nomor satu Balikpapan ketika itu. Letkol (Pol) H. Asnawi Arbain Rahimahullahu, Walikota Balikpapan, datang berkunjung secara mendadak ke Pesantren Hidayatullah.
Menilik waktunya yang berbeda, ini tentu bukan kunjungan biasa. Rupanya benar, Asnawi datang ingin mengecek kebenaran laporan yang ia terima dari seseorang. Ia dilapori jika ada kegiatan eksklusif yang diadakan oleh sekelompok pemuda di Karang Bugis. Kegiatan yang menurut laporan terindikasi sebagai ajaran sesat dan dianggap meresahkan masyarakat.
Setelah berdialog langsung dengan Abdullah Said Rahimahullahu, Pendiri Pesantren Hidayatullah, Asnawi mendadak berubah pikiran. Jika sebelumnya sempat curiga, setelah itu Asnawi justru langsung menawarkan bantuan berupa peralatan tidur para santri.
Sejak itulah keakraban Pesantren Hidayatullah dan Asnawi terjalin mesra. Selanjutnya, mudah ditebak. Layaknya keislaman Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu, Asnawi berubah menjadi salah satu benteng kokoh utama Hidayatullah.
“Dulu Almarhum (Abdullah Said) biasa menggelari Pak Haji (panggilan Asnawi) itu dengan julukan ‘Umar bin Khattab’,” kenang Amin, seorang santri awal Hidayatullah sambil tersenyum.
Kiprah Asnawi tak berhenti sampai di situ. Dalam urusan pembebasan lahan pertama Hidayatullah di Gunung Tembak, Asnawi lagi-lagi menorehkan tinta emas kemurahan hatinya. Ketika ia mendapat laporan lokasi yang ditemukan, Walikota Balikpapan periode 1974-1981 ini segera meluncur menemui Darman, pemilik tanah di Gunung Tembak.
“Tanah ini adalah milik saya, Pak. Di dalamnya pernah saya buka usaha pembakaran batu bata, tapi sekarang sudah berhenti,” ujar Darman kepada Asnawi.
Usai mendapat penjelasan dari Walikota Asnawi perihal keberadaan dan kebutuhan pesantren Hidayatullah akan lokasi dakwah, Darman tiba-tiba menangis. Antara sedih dan haru. Hanya saja tak ada yang tahu, mengapa ia menangis ketika itu. Hingga beberapa tahun berselang, Darman lalu menjelaskan.
“Sudah dua tahun lamanya saya pernah bermimpi didatangi orang berpakaian putih dengan muka yang bercahaya. Sejak itu saya tidak pernah lagi makan nasi. Saya hanya makan buah-buahan dan minum air putih. Saya juga tidak tahu mengapa saya berbuat demikian. Hanya dalam hati saya ada perasaan bahwa ini pasti kebaikan yang akan muncul di tempat ini,” tutur Darman, yang juga ketua RT setempat.
Singkat kata, Walikota memberi instruksi kepada Abdul Muin, S.H, Kepala Agraria Balikpapan meninjau langsung lokasi bersejarah tersebut. Akhirnya, tepat tanggal 3 Maret 1976, Gunung Tembak menjadi lokasi baru Pesantren Hidayatullah. Selang dua hari, atas permintaan Asnawi juga, Darman resmi menyerahkan tanahnya kepada Pesantren Hidayatullah. Tercatat, lokasi tersebut seluas 5,4 Ha dan diserahkan pada hari Sabtu, 5 Maret 1976. Atas inisiatif Walikota, Darman diberangkatkan ke Tanah Suci bersama istrinya untuk naik haji. Sepulang haji, nama Darman lalu diubah menjadi H. Darmawan.
Merakyat, Menyantri
Ciri kebaikan itu niscaya melahirkan kebaikan selanjutnya. Demikian rumus kehidupan mengajarkan. Selanjutnya, irama perlangkahan Hidayatullah tak pernah sepi dari kemurahan hati Asnawi Arbain. Meski berstatus Walikota Balikpapan, bersama sang istri, Asnawi tak sungkan turun tangan langsung membantu kebutuhan di lapangan. Termasuk dalam urusan mencari dana di masyarakat.
“Istri Pak Haji itu teman akrab dengan ibu saya (Ibu Aida Chered),” ungkap Muntadziruzzaman, putra bungsu Abdullah Said kepada Hidayatullah.com.
“Mereka berdua sampai ikut keliling cari dana di masyarakat,” imbuhnya.
Bagi santri Hidayatullah, H. Asnawi Arbain bukan lagi sekedar Walikota bagi santri yang berdomisili di Balikpapan. Tapi Asnawi juga berperan sebagai orangtua yang mengayomi dan membina santri Hidayatullah. Lebih dari itu, mantan Bupati Bulungan, Kaltim ini juga sebagai sahabat karib, tempat para santri dan warga Hidayatullah berbagi masalah.
Tanggal 5 Agustus 1976, diadakan peresmian Pondok Pesantren Hidayatullah di kampus Gunung Tembak. Berbeda dengan pejabat pemerintah lain, Asnawi malah lebih memilih sebagai “yang punya hajat” atau yang turut mengundang. Tampak beberapa tokoh hadir dalam acara peresmian, diantaranya Prof. Dr. K.H. Mukti Ali, MA (Menteri Agama RI), K.H.Abdullah Syafi’i (Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat), dan putrinya Tutty Alawiyah, serta H.A. Wahab Sjahranie (Gubernur Kaltim).
Demikian seterusnya, sesuai janji Allah. Dia dan Pertolongan-Nya sangat dekat kepada hamba-Nya yang menolong agama Allah. Kemesraan berjuang di jalan Allah terus terjalin antara Pesantren Hidayatullah dan H. Asnawi Arbain. Tercatat, blangko permohonan Zakat, Infak, dan Sedekah (ZIS) yang diedar oleh para santri Hidayatullah itu ditandatangani oleh Walikota Balikpapan sejak tahun 1974.
Tradisi ini lalu dilanjutkan oleh penerusnya Walikota Syarifuddin Yoes. Pak Yoes, demikian sapaannya, bahkan pernah membubuhi tandatangan langsung hingga ribuan lembar Proposal Pembangunan Masjid Hidayatullah. Ketika disodori stempel tandatangan, dengan tersenyum Pak Yoes berujar, “Semoga menjadi amal bagi saya.”
Tentunya, kiprah keteladanan dan kebaikan H. Asnawi Arbain tak hanya dirasakan oleh warga dan santri Pesantren Hidayatullah saja. Tapi seluruh masyarakat Balikpapan turut merasakan hal yang sama. Hal itu disampaikan oleh Rizal Effendi, Walikota Balikpapan sekarang dalam sambutannya saat takziyah di kediaman almarhum beberapa hari yang lalu.
“H. Asnawi Arbain adalah pemimpin yang lurus,” ucap Rizal di hadapan ratusan warga yang melayat di rumah duka Jalan Wiluyo Puspoyudo, Balikpapan, Sabtu (27/07/2013).
“Dialah sesungguhnya peletak pertama pondasi awal konsep Balikpapan Religius (kini dikenal dengan istilah Balikpapan Madinatul Iman),” terang Rizal selanjutnya.
Senada dengan itu, Awang Faroek Ishak, Gubernur Kaltim saat ini, juga tak segan memberi apresiasi kepada Asnawi yang tak lain merupakan purnawirawan polisi.
“H. Asnawi Arabin adalah sosok teladan pemimpin yang punya jiwa integritas tinggi,” ungkap Awang dalam sambutan takziyah mewakili pemerintah Kaltim.
Kini H. Asnawi Arbain telah berpulang menghadap Sang Khaliq. Di penghujung usianya, ia masih sempat meluangkan waktunya membina Pesantren Insan Kamil di dekat kediamannya di Balikpapan. Sebelum meninggal, Asnawi juga sempat berpesan untuk dikubur di lokasi pesantren yang dibinanya itu. Atas wasiat tersebut, pihak keluarga akhirnya menolak tawaran untuk dikebumikan dengan upacara militer di Taman Makam Pahlawan Balikpapan.
Almarhum wafat pada usia 87 tahun di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan, meninggalkan 12 anak dan 33 cucu. Jumat, 26 Juli 2013, bertepatan dengan 17 Ramadhan 1434 H adalah hari terakhir masa hidup beliau di dunia. Allahumaghfirlahu warhamhu wa ‘afihi wa’fuanhu.* Kiriman Masykur, Koresponden Hidayatullah.com di Balikpapan