Hidayatullah.com– Dosen Universitas Paramadhina yang juga aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) Novriantoni Kahar mengatakan, tantangan terbesar di Indonesia dan umumnya di dunia Islam saat bukanlah menunjukkan keserasian Islam dan demokrasi, tapi bagaimana mengelola civil liberty (kebebasan sipil), termasuk di dalamnya kebebasan beragama, kebebasan pers. Pendapat ini disampaiakan saat menemani Irshad Manji dan wartawan The Jakarta Post, Endy Bayuni saat diskusi kantor Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) di Kalibata Timur Jakarta Selatan, pada hari Sabtu (05/05/2012) kemarin.
Menurut pria yang pernah tercatat sebagai santri di KMI Gontor Ponorogo ini, ada dua faktor doktrin yang cukup krusial di Indonesia dan di dunia Islam umumnya. Pertama soal doktrin juhad dan doktrin Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Menurutnya, untuk yang pertama (jihad) sudah tidak perlu dikhawatirkan karena cukup terbantu dengan lahirnya Detasemen Khusus (Densus 88).
Menurutnya, untuk menghadapi doktrin jihad di masyarakat, saat ini sudah tidak mengkhawatirkan lagi. Namun yang kini justru problem adalah doktrin “Amal Ma’ruf Nahi Munkar”.
“Kenapa dia lebih berat, karena doktrin ini melakukannya lewat mobilisasi massa kemudian tidak dianggap tidak terlalu bahaya bagi negara karena dia hanya mengancam antara masyarakat dengan masyarakat,” jelas Novri.
Selanjutnya, ia juga menganggap organisasi seperti Front Pembela Islam (FPI) adalah rezimis Islam yang sengaja dipelihara oleh pihak kepolisian.
Novri juga mengutip salah satu ayat di dalam al-Qur’an Suruat Ali Imron ayat 104, yang mengatakan kalau di suatu negeri tidak ada yang menganjurkan kebaikan dan melarang keburukan maka seluruh penghuni negeri itu berdosa. Menurutnya, doktrin ayat ini dinilai berbahaya, terlebih ketika ayat ini dikuatkan dengan salah satu hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam tentang melawan kemunkaran dengan tangan, jika tidak mampu dengan lisan, jika tidak mampu dengan hati yang dianggap sebagai selemah – lemahnya Iman.
“Ada hadits nya jika kamu melihat kemaksiatan lawanlah dengan power, dengan tangan, dengan pentungan, dengan mobilisasi massa, Ini ada landasan doktrinalnya. Kalau tidak bisa dengan lisan, dikasih petuah terus, diceramahi terus. Kalau tidak bisa lagi yang dengan hati nurani kalian tapi ini adalah selemah – lemahnya Iman. Yang paling tinggi imannya yang mentung mentung itu,” jelasnya di sambut tawa peserta.
Novri juga menjelaskan salah satu kebebasan yang paling berat di dunia Islam adalah kebebasan beragama. Menurutnya masalah ini adalah masalah besar di dunia Islam dan ini akan menjadi problem yang akut nantinya di dunia Islam.
“Setelah reformasi tiba – tiba kita melihat Ahmadiyah menjadi kucing kurap reformasi, apa yang membuat Ahmadiyah menjadi begitu berbahaya setelah reformasi?,” jelasnya membela Ahmadiyah yang telah di fatwa sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Setelah dua contoh di atas, Novri juga menambahkan problem kebebasan beragama dalam Islam ini akan semakin sulit juga karena kehadiran budaya takfir (mengkafirkan) di kalangan umat Islam.
Ia juga menuduh Negara Saudi sebagai biang takfir ini.
“Ini ditambah lagi dengan doktrin takfir, takfir terhadap budaya Barat, takfir terhadap kelompok sinkretis, takfir terhadap kejawen, takfir terhadap ini dan lain sebagainya. Dan sesungguhnya doktrin ini adalah adopsi saja dari Saudi,” ujarnya.*