Hidayatullah.com–Membagi harta warisan dalam Islam, diperlukan ilmu. Keluarga Muslim dapat rukun atau berantakan karena persoalan harta warisan. Karena harta warisan bisa sebagai sumber sengketa dan bisa pula sebagai sumber kerukunan.
Pembahasan itulah yang terungkap dalam seminar “Kewarisan Islam; Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah”, Sabtu pekan lalu di Arrahman Quranic Learning Islamic Center (AQL), Tebet, Jakarta Selatan.
Menurut pantauan Muhammad Elvi Syam, Anggota Komisi Fatwa MUI Sumatera Barat (Sumbar), walaupun suku Minang memiliki semboyan “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah”, namun masih ada kebiasaan masayarakat di sana yang perlu diperbaiki.
Hal ini terutama terkait dengan pembagian warisan berkonsep matrimonial. Konsep ini menurutnya, membuat jalur ibu lebih dominan daripada jalur ayah.
“Ini tidak sejalan dengan syariah karena akan banyak mengeliminasi ahli waris yang sebenarnya memiliki bagian lebih besar,”jelas Muhammad Elvi Syam, Anggota Komisi Fatwa MUI Sumatera Barat (Sumbar).
Peserta seminar yang 80 persen keturunan Minang itu benar-benar ingin mengetahui cara menyelesaikan pembagian harta warisan. Pertanyaan yang dilontarkan seputar pembagian harta pusaka, terutama ‘Harta Pusaka Tinggi’.
Seperti diketahui, dalam adat Minang, harta pusaka terbagi dua, yaitu Harta Pusaka Tinggi (HPT) dan Harta Pusaka Rendah (HPR). HPT adalah segala harta pusaka yang diwarisi turun temurun. Harta ini sesungguhnya bukan diwariskan dari Mamak (paman pihak Ibu) kepada Kemenakan, tapi dari nenek kepada Ibu. Kemudian Ibu mewariskannya kepada anak perempuannya. Hal ini berarti bahwa HPT tidak boleh dijual
Sedangkan HPR adalah segala harta hasil pencarian bapak dan ibu selama ikatan perkawinan. Harta ini diwariskan kepada anak perempuan, ditambah pemberian dari Mamak kepada kemenakannya dari hasil pencaharian Mamak sendiri.
Konsep Matrimonial dan Solusi Wakaf
Kasmin, salah seorang peserta seminar ini mengakui kepelikan masalah warisan yang dimiliki keluarganya di Padang.
“Kami tidak tahu persis apakah harta ini asalnya dari bapak, kakek atau buyut kami. Karena kalau dibagi sekarang, khawatir bisa menimbulkan sengketa,”jelas Kasmin yang ikut menjadi peserta acara ini.
Keluarga besar pria asal Bukit Tinggi itu memiliki HPT berupa tanah gurun (kebun), kolam, sawah dan rumah beserta halamannya. Namun ia mengaku khawatir jika persoalan warisan diungkit, ketentraman keluarga besar terusik.
Menurutnya, selama ini mereka semua tidak pernah mengungkit-ungkit pembagian tanah warisan. Persoalan ini mengganjalnya selama bertahun-tahun. Pasalnya, Nenek Kasmin merupakan anak perempuan tunggal.
Ia merasa persoalan ini pelik mengingat keponakan sang Nenek, jumlahnya puluhan. Ibu kandung Kasmin adalah anak perempuan satu-satunya. Secara adat, warisan itu jatuh pada garis keturunan Ibu kandung Kasmin.
Kasmin sendiri memiliki tujuh saudara kandung yang terdiri dari tiga lelaki dan empat perempuan. Posisinya semakin dikuatkan karena “Itu yang berkecamuk dalam hati saya, bagaimana menyelesaikannya secara hukum faraidh supaya tidak ada yang merasa mendapatkan lebih kecil dari lainnya?
Elvi, dalam seminar itu memberikan solusi alternatif, yaitu dengan wakaf keluarga.
Menurutnya, sifat dari wakaf ini adalah menjaga harta pusaka dari penjualan, pewarisan dan penggadaian.
“Insya Allah -harta ini-kekal, tidak diusut-usut,”ulasnya.
Pun begitu, wakaf keluarga tetap harus rapi secara administrasi. Ada bukti tertulis supaya di kemudian hari tidak menimbulkan pengakuan dari pihak tertentu.
Dalam acara itu, Elvi juga menyampaikan rencananya untuk membentuk Badan Wakaf Sumatera Barat. Menurutnya, Sumbar potensial memberdayakan dana wakaf untuk kepentingan umat.*