Hidayatullah.com–Mungkin banyak yang belum tahu jika ada sebuah penelitian The United Nations Children’s Fund (UNICEF) yang menemukan fakta sebesar 99,9 persen anak di dunia lebih senang bermain bersama ayahnya.
Fakta itu diungkapkan oleh psikolog, Eri Soekresno dalam talkshow yang diadakan “Qur’anic Generation” (Q-Gen), “Ngaku Gaul? Follback To Qur’an!” di Masjid Raya Pondok Indah, Jakarta, belum lama ini.
“Jangan salah, anak-anak lebih senang bermain sama bapaknya. Karena seorang bapak bisa menggendong anak dengan berbagai gaya. Ada yang di bahu, ada yang bisa pegang dua kaki dengan posisi kepala di bawah. Ada yang bisa guling-gulingan,”tutur alumni Psikologi UI itu.
Berbeda dengan kaum hawa. Perempuan cenderung memiliki emosi yang kurang stabil. Mulai dari masa menstruasi, hamil, melahirkan, dan apalagi ketika masa sebelum menopause.
“Perempuan banyak nggak stabil karena hormonnya naik-turun melewati tahapan-tahapan itu,”jelasnya.
Begitu luar biasa peran seorang ayah. Sedikit bercerita pengalaman masa kecilnya, Eri teringat pada ayahnya. Setiap Eri meminta sesuatu, ayahnya selalu mencatatnya di sebuah buku harian. Sampai beranjak remaja, Eri akhirnya punya kebiasaan itu.
“Awalnya heran juga. Kok, apa-apa ditulis di buku. Kapan belinya?”ungkapnya. Belakangan Ia menyadari bahwa itulah cara sang ayah mengajarkannya bersabar dan berserah diri pada Allah. Pada keempat anaknya, ia menerapkan hal yang sama. Berbagai permintaan itu, kata Eri, mereka tulis dan doakan bersama dengan harapan keridhaan Allah.
Eri juga bercerita, masa remajanya dihabiskan untuk bereksplorasi dengan mengurusi peternakan ayam dan bebek. Sang ayah yang berprofesi dokter mengajarinya berternak dan cara menjual hasilnya. Kemandirian itu akhirnya tertanam dalam diri perempuan berusia 61 tahun itu.
Efek dari minimnya peran ayah terjadi pada salah seorang murid di sekolah yang didirikan Eri. Ada seorang murid kelas 1 SD yang belum bisa membaca. Semua guru dan psikolog ditempatnya dikerahkan untuk mengajarkan huruf demi huruf. Namun, semua berakhir tanpa hasil.
“Akhirnya saya minta bapaknya datang ke kelas dan membacakan cerita. Ajaib, ternyata nggak lama kemudian nak itu bisa membaca,”ungkapnya. Anak itu termotivasi membaca karena Ia ingin juga balik menceritakan ayahnya sebuah dongeng.
Hal itu, imbuh Eri sekaligus membuktikan bahwa seorang ayah adalah pendongeng yang sangat dinanti anak-anaknya. Ia bisa lebih ekspresif dan heroik dalam menggambarkan tokoh cerita.
“Sama seperti suami saya, sekali ngedongengin, anak-anak baru tidur jam 3 pagi. Minta diceritain terus,”ucapnya terkekeh mengingat kejadian belasan tahun silam.*