Hidayatullah.com– Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution menyatakan menghormati keputusan Presiden Joko Widodo memilih Sutiyoso sebagai Kepala Badan Intelejen Negara (BIN). Meski demikian, ia mengaku mempertanyakan terkait pilihannya itu.
“Menghormati karena hak memilih adalah hak prerogatif presiden. Mempertanyakan karena publik memandang Jokowi telah mengalami defisit sensitifitas dan resfek,” kata Maneger dalam rilisnya yang diterima hidayatulah.com, belum lama ini.
Musababnya, menurut Maneger, itu setidaknya ada lima hal yang harus dijelaskan kepada publik, baik itu oleh Jokowi maupun Sutiyoso. Pertama soal integritas, clear dan clean rekam jejak kemanusiaan Sutiyoso.
“Misalnya TB Hasanuddin Wakil Ketua Komisi Pertahanan DPR RI menyebut Sutiyoso salah satu orang yang disorot saat peristiwa penyerangan markas PDI pada 27 Juli 1996,” ungkap Maneger.
Pada penyerangan yang kemudian dinamai kasus Kuda Tuli ini, lanjut Maneger, Sutiyoso menjabat Pangdam DKI Jakarta dan dalam bentrokan yang terjadi setelah adanya pengambilan paksa kantor DPP PDI, imbuhnya, lima orang diberitakan meninggal, 149 orang terluka, dan 136 orang lainya ditahan (Koran Tempo 11/06).
“Untuk kelurusan sejarah bangsa, BIN khususnya, hal itu harusnya dijelaskan ke publik secara objektif, transparan, dan berkejujuran,” tegas Maneger.
Kedua, menurut Maneger adalah soal profesionalitas dan independensi dari Sutiyoso. Publik, lanjutnya, tentu tahu Sutiyoso adalah Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia serta pendukung Jokowi saat Pilpres lalu.
“Jabatan itu dipersepsikan publik sebagai skema dari bagi-bagi kue kekuasaan setelah suksesi Jokowi-JK dalam Pilpres lalu,” cetus Maneger.
Ketiga, menurut Maneger adalah soal kemandirian BIN. Sutiyoso, lanjutnya, harus menjelaskan ke publik tentang komitmennya terhadap kemandirian dan kedaulatan BIN.
“Kemandirian setidaknya menjadikan BIN untuk kepentingan bangsa, bukan untuk kepentingan politik tertentu. Dan, kedaulatan intelijen, setidaknya mampu memastikan bahwa intelijen asing tidak (lagi) dengan mudah dan seenaknya berseliuran dan beroperasi di teritori Indonesia,” papar Maneger.
Keempat, lanjut Maneger, soal usia Sutiyoso yang sudah mencapai 70-an tahun. Meski faktor usia dipandang relatif. Namun dalam dunia psikologi perkembangan usia di atas 50-an (apalagi 70-an), biasanya orang akan fokus mendaur ulang pengalaman masa lalunya.
“Agak sulit mengharapkan lahirnya gagasan-gagasan baru dari Sutiyo, di usia 70-an tahun. Persepsi publik adalah Sutiyoso terlalu tua untuk memimpin BIN. Apalagi Kepala BIN punya tugas berat seperti mengubah mindset kerja intelijen supaya lebih profesional dalam mempertahankan tanah air Indonesia,” ujar Maneger.
Kelima, menurut Maneger adalah soal komitmen pembeliaan, maksudnya pencalonan Sutiyoso jadi pengganti Marciano Norman –yang selisih periode angkatan di TNI hampir 10 tahun– sebagai Kepala BIN.
“Pencalonan Sutiyoso, oleh publik dinilai bukan pembeliaan, tapi justru penuaan. Komitmen regenerasi di lingkungan BIN menjadi tidak jelas,” tegas Maneger.
Karena itu, Meneger mengatakan, sudah seharusnya Presiden Jokowi dan Sutiyoso, menjelaskan soal-soal itu kehadapan publik. Selebihnya, DPR RI tentu akan menggalidalami integritas dan profesional Sutiyoso dalam uji kepatutan dan kelayakan.*