Hidayatullah.com– Sekretaris Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI), Noor Ahmad menilai bahwa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) minim norma-norma agama.
Hal itu disampaikannya di Kantor MUI, Jakarta, Kamis (26/12/2019) saat membahas terkait kondisi keumatan dan kebangsaan saat ini.
Ia menjelaskan, pada bidang politik telah terjadi banyak permasalahan seperti kompetisi politik transaksional, oligarki politik, kapitalisasi politik, dan lain sebagainya.
Bahkan, beberapa waktu terakhir telah terjadi kontestasi politik yang tidak seimbang dengan berdasarkan pada modal.
“Akibatnya banyak tokoh-tokoh Islam kalah bersaing karena tidak punya modal uang. Kemudian terjadi munculnya tokoh-tokoh politik instan,” jelasnya.
Kemudian, pada bidang hukum, terdapat banyak regulasi tumpang tindih yang dinilai tidak efisien. Bahkan, lanjutnya, pemerintah menyadari hal ini dengan dirancangnya pembuatan Omnibus Law.
“Banyak RUU yang kurang memperhatikan norma-norma agama, contoh RUU P-KS dan lain sebagainya. Sementara itu umat Islam sendiri terlena dengan kondisi dan situasi semacam itu. Seakan-akan umat Islam menjadi menerima apa adanya dari perkembangan-perkembangan tersebut karena ketidakmampuan bersaing di politik,” katanya.
Selain itu, terangnya, dalam bidang ekonomi, ia mengatakan telah terjadi penyimpangan besar-besaran dari pasal 33 UUD 1945. Berdasarkan UUD 1945, Indonesia menganut asas kekeluargaan.
“Kita menjadi ekonomi yang kapitalistik,” ujarnya.
RUU P-KS yang sempat dibahas oleh DPR pada periode lalu ditunda untuk disahkan menjadi undang-undang. RUU P-KS yang kontroversial itu sejauh ini mendapat banyak penolakan oleh berbagai lapisan masyarakat.
Baca: AILA Tolak Pengesahan RUU P-KS Agar Tak Akomodasi Zina & LGBT
Diketahui, pada dasarnya omnibus law, menurut Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Rizky Argama, merupakan salah satu metode pembentukan undang-undang yang mengatur materi multisektor. Selain itu, UU ini juga mampu merevisi hingga mencabut ketentuan yang ada di dalam UU lain.
Rizky dalam keterangan tertulis, Selasa (26/11/2019) menyebut, sejumlah negara telah menerapkan omnibus law sebagai strategis untuk menyelesaikan persoalan regulasi yang berbelit dan tumpang tindih.
Menurutnya, sebagai sebuah metode, pendekatan omnibus law berpeluang mengabaikan prinsip-prinsip penting dalam pembentukan undang-undang.* Abdul Mansur J