Hidayatullah.com – Setelah terjadi deadlock dan skorsing beberapa kali, polemik sidang pleno I tentang Tata Tertib berakhir Senin sore.
Setelah melakukan pertemuan tertutup yang dihadiri oleh Rais Aam, PBNU dan perwakilan Syuriah tiap daerah, muktamar memutuskan bahwa BAB VII pasal 19 Tata Tertib yang menjadi perdebatan dihapus.
Sidang pleno memutuskan mekanisme musyawarah mufakat (Ahlul Hali wal ‘Aqdi/AHWA) dalam menentukan Rais Aam PBNU dihapus. Setelah keputusan ini, ketegangan yang sebelumnya mewarnai sidang pleno I mendadak hilang.
Sidang Pleno yang kali ini dilanjutkan di Pendopo Kabupaten Jombang, dibuka oleh Sterring Comitte H Slamet Efendy Yusuf dan dilanjutkan dengan penyampaian keputusan oleh Rais Aam KH. Musthofa Bisri.
Musthofa Bisri tampil ke podium untuk memberikan tausiyah kepada muktamirin. Gus Mus, sapaan akrabnya, mengaku menangis karena NU yang selama ini dicitrakan sebagai organisasi keagamaan, panutan penuh dengan akhlakul karimah ternyata digambarkan di media massa begitu buruknya.
“Saya menangis NU yang selama ini dicitrakan sebagai organisasi keagamaan, panutan penuh dengan akhlaqul karimah, ternyata digambarkan di media massa begitu buruknya,” Kata Gus Mus dengan suara terisak mengawali.
“Saya malu kepada Allah, malu pada KH. Hasyim Asyari, KH. Wahab Abdullah, KH. Bisri Syansuri dan para pendahulu kita,” lanjutnya.
Gus Mus, mengaku merasa berat, bersalah dan bertanggungjawab atas kekacauan proses Muktamar kali ini. [Baca: Sidang Pleno Muktamar NU Hari Ahad Dipenuhi Hujan Intrupsi]
“Saya mohon maaf kepada semua muktamirin terutama yang jauh dan tua-tua, teknis panitia yang mengecewakan anda, maafkanlah mereka, maafkan saya. Itu kesalahan saya, mudah-mudahan Anda sudi memaafkan,” tutup Gus Mus.
Setelah itu Slamet Efendy Yusuf menanyakan apakah muktamirin bisa menerima keputusan para kiai sepuh.
“Apakah bisa digantikan untuk pengganti pasal 19?” tanya Slamet.
“Iya,” serentak para muktamirin menjawab.
Dengan berakhirnya sidang pleno I, agenda Muktamar dilanjutkan dengan sidang-sidang selanjutnya. */Yahya G. Nasrullah