Hidayatullah.com- Dewan Pers Indonesia telah mengeluarkan pedoman pemberitaan media siber dan yang menjadi dasar pemberitaan. Dengan adanya pedoman, akan dapat dibedakan antara media siber satu dengan yang lainnya, dalam ketaatan pada kode etik jurnalistik.
“Itulah yang disebut dengan literasi media,” demikian dikatakan anggota Dewan Pers Indonesia Priambodo RH kepada hidayatullah.com, di Gedung Dewan Pers, Rabu (07/10/2015) siang.
Menurut Priambodo untuk mengukur ketaatan kepada kode etik tersebut sangat sederhana yakni, pertama apakah media siber yang bersangkutan memberitakan sesuatu yang faktanya benar-benar sudah teruji atau belum.
“Untuk menguji fakta itu reporter harus lihat sendiri secara langsung atau jika tidak mencari narasumber yang teruji kredibelitas dan capabelitasnya,” ujar Priambodo.
Menurut Priambodo narasumber yang bisa disebut credible dan capable adalah orang-orang yang mempunyai suatu kemampuan karena memang berhubungan dengan pekerjaan sehari-harinya, memiliki keilmuan atau sesuai bidang keahlian studinya (bidang yang digeluti selama studi atau sekolah).
Selain fakta yang telah teruji, Priambodo mengatakan, berikutnya adalah acuan data yang akan digunakan sebagai bahan pemberitaan. Misalnya ketika membahas mengenai tragedi Mina, sebetulnya apa penyebabnya, sementara yang kita tahu tragedi Mina sebuah kasus yang berulang-ulang terjadi.
“Pada logika yang lain, Arab Saudi nggak mungkin kalau nggak belajar dari kejadian sebelum-sebelumnya, seperti memasang cctv dan lain sebagainya,” kata Priambodo.
Lebih lanjut, Priambodo menuturkan, reporter harus menguji semua informasi mulai dari data yang pernah ada dengan data yang baru. Misalnya, jangan-jangan kasus tragedi Mina itu penyebabnya sama dengan kasus-kasus sebelumnya seperti ketidaksiplinan, pembagian zona dan seterusnya.
“Bahkan sekarang Menteri itu sampai bingung kenapa jamaah haji Indonesia bisa masuk ke zona terjadinya tragedi Mina itu. Karena itu, perlu diuji lagi data-datanya,” demikian tandasnya.*