Hidayatullah.com – Tidak pernah ada ulama yang lahir dari lembaga selain pesantren. Demikian disampaikan Prof. Dr Imam Suprayogo, mantan Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang. Sebab perguruan tingga melatih intelektual sementara pesantren lebih kepada menanamkan nilai dan pemahaman tentang Islam.
“Pesantren mengembangkan akhlak dan spiritual. Perguruan Tinggi mengembangkan intelektual dan prefesional,” ungkap Imam saat menjadi pembicara pada diskusi panel II di gelaran International Conference of Islamic Scholars (ICIS) ke IV di UIN Malik Ibrahim, Malang, Selasa, (24/11/2015).
Karena itu, sambungnya, ulama yang intelek dan intelek yang ulama, adalah sosok yang memiliki kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu, dan kematangan profesional.
“Karena itu kalau UIN tidak melahirkan ulama, boleh jadi karena hal tersebut,” selorohnya.
Atas dasar hal itu, Imam mengaku merintis pesantren di kampus yang dipimpinnya. Tidak mudah, lanjutnya, karena memang pesantren itu berbeda dengan Perguruan Tinggi.
Ia menjelaskan bahwa mahasiswa yang mempelajari ilmu-ilmu eksak, bahasa, maupun sosial. Juga mampu mengkaji hal tersebut berdasarkan Al-Quran.
“Karena itu belajar tentang matematika, fisika, kimia, biologi, sosiologi, psikologi dan lainnya seharusnya mampu mengantarkan mahasiswa kepada Al-Quran dan mengenal Allah,” tegasnya.
Integrasi universitas dan pesantren, kata Prof. Imam, juga menghasilkan mahasiswa yang dekat dengan Al-Quran, tidak hanya memahami tapi juga menghafalnya.
“Makanya dulu setiap wisuda saya sempat kaget, ternyata mahasiswa yang meraih IPK tertinggi selalu saja dari mahasiswa yang hafal al-Quran 30 juz,” kenangnya.
“Itulah transformasi universitas yang sesungguhnya,” lanjut Prof. Imam.
Untuk itu, ia menekankan bahwa proses pendidikan di perguruan tinggi tidak hanya soal intelektualitas tetapi juga spititualitas.
“Lewat pendidikan seperti ini diharapkan lahirnya tokoh Islam yang ahli fisika, ahli biologi dan sebagainya, tapi juga faham Al-Quran dan hadits,” ujarnya.
Untuk diketahui, UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang sendiri mewajibkan seluruh mahasiswanya untuk tinggal di ma’had (pesantren mahasiswa) pada tahun pertama kuliah.
Harapannya, jika Kampus 3 UIN Maulana Malik Ibrahim selesai pembangunannya, maka semua mahasiswa akan tinggal di ma’had selama 4 tahun.*