Hidayatullah.com– Indonesian Resources Studies (IRESS) menolak keras rencana pemerintah menyelesaikan negosiasi kontrak tambang PT Freeport Indonesia bulan ini dengan membayar sekitar US $ 3 miliar hingga US $ 4 miliar untuk divestasi 41,64 persen saham Freeport McMorant.
Direktur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara, mengatakan, nilai 41,64 persen saham yang dibayar untuk kewajiban divestasi sangat mahal, karena mestinya yang dijadikan rujukan perhitungan harga saham adalah periode Kontrak Karya (KK) tambang Freeport yang berakhir tahun 2021. Bukan periode KK hingga 2041 seperti yang diinginkan Freeport.
Dengan masa berlaku KK yang tersisa hanya tinggal 3-4 tahun, menurutnya, maka nilai aset dan bisnis Freeport mestinya jauh lebih rendah dari US $ 3 sampai 4 miliar.
“Tentu saja Freeport menginginkan nilai saham lebih tinggi, karena itu yang dijadikan acuan adalah periode KK hingga 2041. Padahal tidak ada ketentuan dalam KK yang mewajibkan Indonesia harus memperpanjang KK hingga 2041,” ujarnya dalam siaran pers, Selasa (10/07/2018).
Marwan mengungkapkan, harga yang disepakati jelas sangat mahal, apalagi di tengah kemampuan APBN yang terbatas dan kondisi ekonomi rakyat yang terus menurun. Dimana seharusnya pemerintah bisa dan harus meminta harga yang jauh lebih rendah, mengingat Freeport pun harus membayar sanksi akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
Karenanya, ia menambahkan, dengan rujukan periode kontrak yang tinggal 3 hingga 4 tahun lagi, maka IRESS yakin nilai 41,64 persen saham Freeport hanya berkisar US $ 1 sampai 1,5 miliar.
“Kami perlu mengingatkan Presiden Jokowi agar tidak gegabah menyelesaikan negosiasi kontrak Freeport ‘at any cost’, demi mengejar target selesai dan berbagai kepentingan lain. Apalagi jika ada kepentingan perburuan rente atau sarat perilaku moral hazard,” jelasnya.
Marwan mendorong, agar harga saham Freeport harus ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek-aspek kedaulatan negara, wewenang untuk membuat keputusan konstitusional, menghitung nilai wajar bebas KKN, dan menerapkan sanksi-sanksi sesuai hukum yang berlaku.
Menurutnya, jika pemerintah tetap membayar sebesar US $ 3 sampai 4 miliar, maka Indonesia akan menjadi pecundang karena bersedia membayar sesuatu yang jauh di atas nilai wajar, sebab pada dasarnya sebagian besar aset yang dibayar tersebut adalah milik negara dan bangsa sendiri.*