Hidayatullah.com- Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi dilaporkan oleh sejumlah ulama Purwakarta ke Polda Jawa Barat dengan dugaan telah melakukan suatu tindakan penistaan terhadap agama.
Dedi dilaporkan dengan nomor laporan polisi LPB/983/XI/2015/Jabar tanggal 30 November 2015. Bupati Purwakarta ini diadukan karena dianggap telah melanggar Pasal 156 KUHP mengenai kebencian atau merendahkan suatu golongan rakyat Indonesia.
Menurut pelapor, Muhammad Syahid Joban mengatakan, “Laporan ini atas permintaan para ulama Purwakarta yang sudah resah dengan prilaku Dedi Mulyadi yang banyak menodai ajaran agama Islam.”
Ia membawa beberapa barang bukti berupa dua buku berjudul ‘Spirit Budaya Kang Dedi’ dan ‘Kang Dedi Menyapa’ serta satu VCD berisikan kompilasi pidato sang bupati tersebut.
“Dalam buku karangan Dedi Mulyadi itu isinya banyak sekali penyimpangan dari ajaran Islam,” kata Johan seperti dalam siaran pers yang diterima redaksi hidayatullah.com, Selasa (01/12/2015).
Misalnya, Dedi Mulyadi mengatakan bahwa agama adalah budaya, dan budaya adalah agama. Selain itu, Dedi menyamaratakan antara budaya dan agama. Padahal, kata Joban, dua hal tersebut sangatlah berbeda. Agama Islam bersumber pada wahyu Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang memiliki kebenaran mutlak, sementara budaya itu produk manusia.
“Lalu dia (Dedi) katakan orang Sunda itu tidak mengenal simbolisasi penyembahan, maksudnya orang yang bertuhan secara benar itu yang membaktikan dirinya kepada alam, bahkan dia juga menghina Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam dengan menulis; Allah memahami Rasulullah sebagai kekasihnya tetapi perlakukan Allah terhadap Rasulullah justru mendidiknya dan membiarkan Rasullah sengsara.”
Dalam rekamannya, lanjut Joban, Dedi juga mengatakan, “Ketika sampah mulai bersatu dengan dirinya, maka di situ sampah menjadi harum. Kenapa? Karena Allah hadir pada sampah-sampah itu.”
“Dan yang fatal juga dia (Dedi) katakan bahwa zakat itu tidak wajib bagi masyarakat, yang wajib adalah APBD sampai ke masyarakat.”
Selain penodaan agama, kata Joban, perihal yang membuat resah warga Purwakarta adalah upaya yang dinilai sebagai Hinduisasi oleh Dedi di daerah yang dikenal sebagai kota santri itu.
“Dia melakukan upaya Hinduisasi kepada masyarakat Islam di Purwakarta, misalnya dengan membuat banyak patung, membuat gapura Hindu, mengikat pohon dengan kain poleng, dan lainnya.”
“Jadi Dedi Mulyadi itu menodai syariat dengan bungkus adat, menodai agama dengan bungkus budaya. Upaya-upaya dia lewat festival, karnaval, perayaan budaya yang dia usung itu hanya sebagai bungkus, padahal isinya mengandung kemusyrikan dan banyak menodai ajaran agama Islam,” imbuh Joban.
Sebelum ini Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) Pusat Prof. Dr. KH. Didin Hafiduddin juga sempat mengatakan bahwa Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi dinilai telah salah menafsirkan makna dari kearifan lokal. [Baca: Didin Hafiduddin: Adat Sunda Itu Sesuai Islam Bukan Kepercayaan Mistik]
“Kearifan lokal jangan diartikan dengan kebudayaan yang sempit. Artinya jangan segala macam tradisi yang ada di suatu daerah dimunculkan, padahal tradisi tersebut bertentangan dengan akidah maupun syariah,” ujar Didin usai konferensi pers di Kantor MUI Pusat, Jalan Proklamasi 51, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (26/11/2015) siang.*