Hidayatullah.com– Selama ini, negara tidak hadir dalam penanganan korban terorisme. Karena itu, revisi Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme diharapkan tak hanya menekankan pada agenda represif semata.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Hasibullah Satrawi, dalam jumpa pers di Hotel Sofyan, Menteng, Jakarta, Selasa (16/02/2015) lalu.
“Penanganan korban (aksi terorisme) nyaris saja hilang dalam perspektif ketatanegaraan kita selama ini,” kata Hasibullah.
Sebab, lanjutnya, pemerintah terlalu terlena dengan perspektif lain dalam penanganan aksi terorisme, di antaranya perspektif pelaku serta penindakannya. Sementara, tegasnya, korban aksi terorisme tak terakomodir hak-haknya.
“Revisi (UU Terorisme) jadi momentum untuk menghadirkan negara di dalam konteks penanganan para korban aksi terorisme,” imbuhnya.
Hasibullah juga mengusulkan agar hak-hak korban aksi terorisme dimasukkan dalam revisi UU Nomor 15 tahun 2003. Ketentuan pertama usulan itu, dalam masa kritis, negara mengumumkan jaminan dan menanggung semua biaya medis yang dibutuhkan para korban hingga sembuh.
“Masa kritis yang dimaksud dalam hal ini yakni ketika baru terjadinya tindak terorisme. Dan biaya yang digunakan untuk menanggung pengobatan para korban menggunakan anggaran dari Kementerian Kesehatan,” tutupnya.*