Hidayatullah.com – Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Putri Kanisia mengatakan, perluasan kewenangan penyidik dan jaksa dalam revisi undang-undang terorisme berpotensi terjadi penyiksaan dan intimidasi terhadap terduga teroris.
Ia juga memandang, perluasan wewenang penyidik hingga 6 bulan merupakan palanggaran terhadap hukum itu sendiri.
“Karena kalau melihat KUHAP itu, penahanan di kepolisian sendiri selama 60 hari, 40 hari dan bisa diperpanjang 20 hari. Kemudian di jaksa 50 hari, 30 hari dan bisa diperpanjang 20 hari. Jadi total 110 hari, kalau dihitung-hitung 3 sampai 4 bulan seseorang dari mulai penyidikkan hingga kejaksaan,” jelasnya saat konferensi pers di kantor KontraS, Jl. Kramat II No.7, Jakarta Pusat, Sabtu (26/03/2016).
“Kami melihat penyidikkan yang sedemikian lama, proses introgasi yang sedemikian lama, berpotensi terjadinya penyiksaan, maupun intimadi terhadap terduga teroris,” tambahnya.
Putri menegaskan, pihaknya jelas tidak setuju dengan tindakan terorisme. Namun menurutnya, tidak juga dengan melakukan tindakan yang berlebihan atau sesuai dengan hukum itu sendiri.
“Karena balik lagi prinsip di hukum adalah asas pra duga tidak bersalah. Artinya sebelum dia dihadapkan di pengadilan tidak dapat dikategorikan melakukan kejahatan tersebut,” ungkapnya.
Sementara itu, Satria Wirataru, Staf Divisi Hak Sipil dan Politik KontraS menyatakan, pokok pembahasan revisi UU terorisme sangat berbahaya bahkan disebut sebagai pasal Guantanamo.
“Tidak harus tersangka yang ditahan, terduga saja bisa dibawa, ini jelas bahaya. Seperti pasal Guantanamo, orang dibawa tidak jelas karena apa. Hanya dengan informasi yang sangat minim,” terangnya.
“Misalnya ada pelaku terorisme menyapa seseorang, nah otomatis ini juga bisa dibilang terduga, dibawa selama 6 bulan. Selama 6 bulan ini hidup seseorang bisa hancur, tidak bisa kerja, penghasilan anak-istrinya dari mana, bahkan stigma dari masyarakatnya buruk,” lanjut Satria.
Selain itu, ia mempertanyakan, tidak adanya pasal atau aturan dalam revisi uu terorisme nanti yang memuat bagaimana prinsip akuntabilitas yang dilakukan oleh Densus 88, jika misalnya terjadi kasus salah tangkap, penahanan sewenang-wenang dan sebagainya.
Untuk itu, KontraS berencana akan mengajukan dengar pendapat dengan Komisi III DPR menyangkut pembahasan Revisi Undang-undang No. 15 tahun 2003 tersebut.*