Hidayatullah.com–Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak membantah jika terduga kasus terorisme (alm) Siyono yang meninggal setelah ditangkap Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 pernah diautopsi.
Pernyataan Dahnil Anzar Simanjuntak disampaikan guna membantah pernyataan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Agus Rianto yang mengatakan di Harian Republika hari Senin (04/04/2016), bila hasil autopsi Polri menunjukkan Siyono meninggal karena benturan di kepala akibat pelaku melawan Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88.
Atas pernyataan Brigadir Jenderal Agus Rianto, Dahnil Anzar Simanjuntak menjawab tigal hal.
Pertama. Menurut 9 Dokter Tim Forensik Muhammadiyah dan 1 dokter forensik yang diutus Polda. Kondisi jenazah menunjukkan bahwa jenazah Siyono belum pernah dilakukan autopsi sama sekali.
“Jadi, fakta ilmiah outopsi menunjukkan tidak ada tanda-tanda jenazah pernah dilakukan autopsi (Seperti dijelaskan Dokter Gatot, Ketua Tim Forensik yg juga didampingi dokter forensik dari Polda pada saat konpress di depan Rumah Ibu Suratmi setelah proses autopsi selesai),” demikian pernyataan Dahnil Anzar Simanjuntak yang ditulis di akun Facebooknya, Selasa (05/04/2016).
Baca: Autopsi Jenazah Siyono Berjalan Lancar, Muhammadiyah Beberkan 2 Temuan Awal
“Kami tidak paham autopsi macam apa yang dilakukan Polisi versi Brigjen Agus, yang menyatakan bahwa kematian Siyono disebabkan Karena benturan di kepala? Padahal, 9 Tim Forensik Muhammadiyah ditambah 1 orang dokter dari Polri, menemukan patah tulang di beberapa bagian tubuh. Seperti dada dan bagian lain yang diakibatkan benda tumpul,” ujar Dahnil Anzar.
Tapi karena tingginya etika dan profesionalitas ketika tim dokter dari PP Muhammadiyah belum berani menyimpulkan dan menunggu uji mikroskopis.
Kedua. Berkaitan Luka diperoleh karena Siyono melakukan perlawanan, dokter forensik Muhammadiyah menemukan faktanya dan akan menyampaikan secara lengkap setelah uji laboratorium.
Ketiga. Justru dari keterangan di atas kelihatan Brigjen Agus (atas nama kepolisian yang beropini tidak didasari pemahaman hukum yang baik), merujuk kepada keterangan Siane Indriani, Anggota Komnas HAM ketika kami berdebat dengan Kapolres di lokasi TKP, Komnas HAM yang meminta Muhammadiyah untuk membantu mengungkap fakta ini punya hak penyelidikan, (UU 39/99 Pasal 89 ayat 3 untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pemantauan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan butir (b) penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia). Artinya, sampai pada proses pencairan fakta melalui autopsi.
Nah apa yang dilakukan Muhammadiyah melalui autopsi atas permintaan Komnas HAM bukan opini tetapi berusaha menemukan fakta melalui usaha ilmiah.
“Justru Polri yang berusaha membangun opini tanpa dasar pijakan ilmiah seperti bisa menyebut kematian Siyono akibat benturan di kepala. Padahal, fakta ilmiah menunjukkan tidak pernah ada autopsi sebelumnya seperti yang disampaikan dokter Gatot yang tidak dibantah oleh dokter forensik dari Polri sendiri,” tulis Dahnil Anzar.
“Mari kita bantu polisi menjadi lebih profesional dan menghargai hukum dan melindungi hak hidup warga negaranya siapa pun mereka.
Ini saatnya kita bantu polisi berubah menjadi lebih baik melalui membantu Ibu Suratmi, istri (Alm) Siyono yang mencari keadilan.”*