Hidayatullah.com– Koalisi Masyarakat Sipil menilai, draft revisi undang-undang (RUU) tindak pidana terorisme yang diajukan oleh pemerintah memiliki sejumlah masalah. Koalisi ini terdiri dari KontraS, PSHK, Imparsial, ICJR, dan LBH Pers.
Di antara masalah itu, pertama, mengenai kewenangan penangkapan yang bertentangan dengan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). RUU tersebut memberikan kewenangan bagi penyidik untuk melakukan penangkapan kepada orang yang diduga terlibat terorisme selama 30 hari.
“Padahal, menurut nomenklatur hukum di Indonesia tidak mengenal status hukum terduga sebagaimana diatur dalam RUU ini,” ujar Miko Ginting, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) di kantor KontraS, Jakarta Pusat, belum lama ini.
“KUHAP mengatur bahwa penangkapan dapat dilakukan dalam waktu satu hari, dan penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa berdasarkan bukti yang cukup,” tambahnya.
Kedua, lanjut Miko, mengenai kewenangan pencabutan status kewarganegaraan yang dinilai berpotensi terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), sebagaimana diatur dalam Pasal 28D UUD 1945 dan juga hak kebebasan sipil yang termuat di Konvensi Internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial.
“Pencabutan kewarganegaraan memiliki konsekuensi status keadaan tanpa negara (statelessness) yang tidak lagi mendapatkan jaminan perlindungan dari negara, sehingga patut dihindari,” jelasnya.
Ketiga, mengenai konsep deradikalisasi terorisme. Koalisi itu menilai, adanya ketentuan yang memberikan kewenangan kepada penegak hukum, untuk menempatkan orang tertentu di satu tempat tertentu selama 6 bulan dalam rangka deradikalisasi, sangat berpotensi melanggar HAM.
“Deradikalisasi semacam ini berpeluang menciptakan model pusat-pusat penahanan yang rentan disalahgunakan untuk melakukan penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya,” tukas Miko.
Sedikitnya ada tiga masalah lain pada draft RUU Terorisme yang diungkapkan Koalisi Masyarakat Sipil. Yaitu mengenai akuntabilitas kinerja aparat, seringnya terjadi kesalahan dalam operasi pemberantasan terorisme, dan kecenderungan pengabaian aspek penanganan korban.*