Hidayatullah.com– Muhammadiyah mendorong secara kritis atas perjuangan politik yang bersifat praktis atau berorientasi pada kekuasaan untuk dijalankan oleh partai-partai politik dan lembaga-lembaga formal kenegaraan dengan sebaik-baiknya, menuju terciptanya sistem politik yang demokratis dan berkeadaban, sesuai dengan cita-cita luhur bangsa dan negara.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Fahmi Salim, dalam pidatonya pada Milad Muhammadiyah ke-106 di PWM Jambi, pekan kemarin.
“Dalam hal ini,” terang Fahmi, “perjuangan politik yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik hendaknya benar-benar mengedepankan kepentingan rakyat dan tegaknya nilai-nilai utama, sebagaimana yang menjadi semangat dasar dan tujuan didirikannya negara Republik Indonesia yang diproklamasikan tahun 1945,” dalam instisari pidatonya (01/12/2018) diterima hidayatullah.com, Senin (03/12/2018).
Ia mengatakan, Muhammadiyah senantiasa memainkan peranan politiknya sebagai wujud dari dakwah amar ma’ruf nahi munkar, dengan jalan mempengaruhi proses dan kebijakan negara agar tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan cita-cita luhur bangsa (high politics).
“Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat menuju kehidupan nasional yang damai dan berkeadaban,” ujarnya.
“Tanpa teriak “Saya Indonesia”, “Saya Pancasila”, Muhammadiyah memelopori gerakan civil society dan berkomitmen mengawal judicial review ke Mahkamah Konstitusi banyak Undang-Undang yang merugikan rakyat dan menyimpang dari arah kiblat bangsa,” tambahnya.
Di antaranya, ungkap Fahmi, yang sudah berhasil dimenangkan JR di MK adalah: Pertama, UU 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas (Migas). Kedua, UU 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air (SDA). Ketiga, UU 17 Tahun 2013 Tentang Ormas. Keempat, UU 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
“Tidak berhenti di situ, Muhammadiyah masih terus perjuangkan JR atas UU lainnnya yang berpotensi menyimpang dari UUD 1945 seperti: UU 24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Kedua, UU 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Asing. Serta UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan,” sebut Fahmi.*