Hidayatullah.com- Mantan Mahkamah Konstitusi RI Mahfud MD mempertanyakan penggunaan istilah (terminologi) dari Peraturan Daerah (Perda) syariah. Menurutnya, selama ini, apa yang diidentifikasi sebagai Perda syariah sebenarnya adalah peraturan-peraturan yang sudah diatur dalam KUHP seperti, perjudian, perzinaan, pemerkosaan, mabuk-mabukan dan sebagainya.
“Itu semua kan sudah ada di dalam KHUP. Cuma, kemudian orang menyebutnya Perda syariah. Sebenarnya seperti apa sih definisi dari Perda syari’ah itu? Di beberapa daerah memang ada (Perda) seperti itu,” tanya Mahfud saat diwawancarai hidayatullah.com di Kantor MMD Jakarta, belum lama ini.
Menurutnya, kalau bicara mengenai urusan syari’ah dalam konteks hukum, sebenarnya tidak perlu adanya Perda. Sebab, jelasnya, tanpa Perda sekalipun, aturan-aturan yang berkaitan dengan urusan syariah sudah seharusnya berlaku sendiri di tengah kehidupan masyarakat.
“Kenapa harus di-Perda-kan lagi?” Mahfud bertanya lagi.
“Misal, di Sumatera Barat itu ada namanya Perda PAT atau Perda Penyakit Masyarakat (Pekat). Sesudah saya baca itu Perda, ternyata, semua sudah ada dalam KUHP. Jadi, bukan hukum baru atau hukum syari’ah. Itu sudah ada di dalam KUHP,” tegas Pakar Hukum yang juga pernah menjabat sebagai Anggota DPR RI ini.
Ia menjelaskan, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menganut yang namanya ‘unifikasi hukum’ dalam hukum publik. Artinya, penerapan hukum yang berlaku sama untuk semua orang tanpa terkecuali.
“Nah, dalam hukum privat, itu tidak perlu diatur dengan Perda, sudah jalan sendiri. Jangan khawatir itu aturan nggak bisa berjalan jika nggak ada Perda,”
Ia mencontohkan, Bupati Musi Rawas Ridwan Mukti yang tak pernah membuat Perda syariah melainkan membuat program-program positif seperti memberi beasiswa kepada madrasah-madrasah, mengundang para da’i dan sebagainya.
“Anggaplah ada 100 da’i diundang ke Musi Rawas, kemudian ditugaskan untuk berdakwah ke daerah-daerah tertentu. Itu kan tidak pakai Perda tapi program tetap berjalan,” pungkasnya.*