Oleh: Jaka Setiawan
“Mengapa ada kudeta militer di Mesir, tetapi tidak di Turki?” Barangkali begitulah bagian bait dari tulisan Alfan Alfian, penulis disertasi “MiliterdanPolitik di Turki (2002-2013)” di Majalah Gatra (23/2/2015).
Pasca Kudeta Turki Juli 2016 lalu, pertanyaan relevannya sedikit berubah menjadi, mengapa Turki berhasil menggagalkan Kudeta Militer? Mengapa kemenangan politik Islam dan afiliasinya selalu dikudeta?
Banjir argumentasi historis dan kontemporer, mari kita aduk dengan sedikit alasan filosofisnya. Apa yang bisa kita petik dari pengalaman Turki bagi perkembangan politik Islam?
Apakah ini merupakan babak baru dari fenomena semakin menguatnya masyarakat Post-Sekularisme?
Hampir semua Negara demokratis di dunia saat ini menganut sekularisme politik dengan kadar yang berbeda-beda. Prancis dengan laicite danTurki dengan laiklik berada di baris depan. Sisanya adalah varian-varian. Sekularisme politis telah mengalami globalisasi. Begitu juga Post-Sekularis memulai menggeliat, dan kudeta Turki menjadi semacam media promosi di mana masyarakat Post-Sekularismesedang di atas panggung.
Tidak hanya masyarakatnya bahkan militernyapun mengalami proses Post-Sekularisme pasca Democratic Control of Armed Forces (DCAF) yang mengembangkan skema Kontrol Demokratik terhadap Angkatan Bersenjata dengan menempatkan demokrasi sebagai keharusan bagi setiap anggotanya. Dalam kerangka ini, militer tidak memiliki alasan mengambilalih kekuasaan.
Kembalinya agama pasca sekularisme atau istilah Post-Sekularisme mulai masuk literature filsafat dan forum-forum akademis di Eropa.
Post-Sekularisme inilah yang menjadi pokok diskusi dan dialog antara Juergen Habermas dan Ratzinger pada 19 Januari 2004 di Muenchen, atas prakarsa dan undangan Katholische Akademie Bavaria. Pokok pembicaraan ini kemudian diterbitkan dalam sebuah risalah yang diredaksi oleh Presiden Katholische Akademie, Florian Schuller, dengan judul Dialektik der Saekularisierung: UeberVernunft und Religion (DialektikSekularisasi: Tentang Akal Budi dan Agama).
Kudeta di Turki memperkuat keyakinan banyak kalangan tentang lahirnya masyarakat Post-Sekularisme yang ditandai oleh penyangkalan terhadap klaim rasionalisme sebagai semacam tumpuan, dan sebagai ekspresi kebenaran tertinggi yang tak tergoyahkan dalam berhadapan dengan jenis wacana lainnya termasuk agama yang melahirkan kebijakan politik. Rawls menyebutnya doktrin koprehensif.
Sekularisme yang sudah dianut pemikir-pemikir utama Eropa sejak berabad-abad, seperti Comte, Feuerbach, Marx, dan Freud, menganggap agama sebagai semacam ilusi kolektif yang akan ditinggalkan ketika rasionalitas secular mendominasi masyarakat. Tesis itu tidak pernah terbukti, malah terbukti gugur.
Alih-alihpunah, memasuki abad ke-21 agama mengalami kebangkitan dan menjadi faktor yang menentukan dalam politik kontemporer. Masyarakat Post-Sekularis memenguat pasca kudeta Turki. Masyarakat menghadang kudeta sebagian militer Turki, Post-Sekularisme lalu disambut bagaikan pembebas baru. Post-Sekularisme pasca kudeta Turki akan menghasilkan masyarakat Post-Sekularisme global. Latar belakang belakang keyakinan agama sangat berpengaruh dalam merefleksikan watak Post-Sekularisme yang dianut ini. Kemenangan afiliasi dan aliansi politik Islam dalam kancah sekularisme, isu terorisme, masalah pengungsi, dan lain-lain, akan menjadi isu utama, dunia tidak lagi diam soal agama, baik menerima maupun melawan.
Post-Sekularisme di Indonesia
Di Eropa popularitas kekuatan ekstrem kanan yang anti migrant dan anti pengungsi meningkat tajam. Terorisme juga sudah dianggap bagian dari instrumen politik global. Persepsi kawan-lawan yang dikaitkan dengan agama mulai tumbuh. Penganut sekularisme tidak akan mampu menjadi moderator, akan terhimpit. Agama kembali menjadi isu publik yang perlu dikalkulasi. Dunia ini tidak sepenuhnya sekular, melainkan mulai kembali menuju ke masyarakat Post-Sekularisme, religious politik yang tidak bisa dibendung. Di Asia minoritas Rohingnya di Myanmar, Uighur di XinJiang menjadi titik hotspot refleksi patologis Post-Sekularisme.
Di Indonesia, sekularisasi besar-besaran terjadi melalui kebijakan depolitisasi terhadap gerakan Islam yang memuncak dengan ditetapkannya Pancasila sebagai asas tunggal (1985). Post-Sekularisme Indonesia ditandai dengan berbagai regulasi di bidang sosial-ekonomi, sebagai hokum positif yang melahirkan, antara lain UU zakat, UU wakaf, dan UU keuangan syariah, sehingga telah terjadi proses terbentuknya masyarakat Post-Sekularisme melalui obyektivikasi, rasionalisasi, dan marketisasi dalam ruang publik.Sayangnya dampak terhadap sosial-ekonomi belum terlalu terekspose karena banyak faktor.
Walaupun Post-Sekularisme mungkin belum disadari dan belum disambut hangat. Namun, di sini kita justru per luwaspada dan mempersiapkan diri secara matang.
Menurut Habermas, di era Post-Sekularmeini agama pun ditransformasikan menjadi lebih “rasional”. Apalagi kudeta-kudeta militer di Turki secara historis – substansial tidak jauh berbeda dengan kudeta yang terjadi di Mesir. Dalih dan tuduhannya tidak lain penyelamatan demokrasi, melindungi ideologi negara, dan dibungkus dengan stabilitas keamanan.
Dalam gejala itu, partai atau gerakan yang beraspirasi Islam harus mulai bergerak membaca, bahwa masyarakat dunia sedang meninggalkan sekularisme di segala bidang kehidupan. Dibutuhkan alternative baru, pemikiran Abdullah bin Muhammad mengenai HarbulI shobah As-Siyasiyah (Perang Gerilya Politik) dalam arti yang lebih kritis, luas dan global juga perlu dipertimbangkan penguasa gerakan politik lokal.*
Penulis adalah direktur Program & Kajian Strategis PUSHAMI