Hidayatullah.com–Sejumlah tokoh dari kalangan cendekia dan aktivis gerakan melakukan Uji Materiil KUHP pasal 284,285 dan 292 yang pada 26 Juli 2016 melakukan sidang dengan agenda Mendengarkan Keterangan DPR dan Ahli Pemohon di Ruang Sidang Gedung MK Jl. Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta Pusat.
Sebelumnya, para akademisi ini meminta Mahkamah Konstitusi (MK) memperluas makna zina, homoseks dan perkosaan dalam KUHP. Mereka meminta KUHP ditafsir ulang sehingga pelaku homoseks dibui selama 5 tahun.
Salah satu ahli dari pemohon Prof. Dr Mudzakkir menjelaskan satu persatu mengenai pasal-pasal yang diajukan.
Pertama, dalam Pasal 284, di mana tertulis, norma yang dilarang adalah suami atau istri melakukan hubungan, sebut saja ini adalah persetubuhan dengan laki-laki atau perempuan lain yang baik itu dalam pernikahan maupun di luar pernikahan.
“Jadi intinya syarat di dalam Pasal 284 ini adalah salah satu di antara pelaku hubungan seksual itu, khususnya di dalam konteks ini adalah suami atau istri. Artinya apa? Artinya kalau bukan suami-istri, tidak berlaku. Kecuali dia adalah sebagai partner atau turut serta dalam melakukan perbuatan ini atau dengan kata lain turut sertanya dalam konteks ini adalah orang lain,” ujar Mudzakkir.
Seperti diketahui, dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP tentang perzinaan tertulis; “dihukum penjara selama lamanya sembilan bulan, 1a Bagi laki laki yang beristri, berbuat zina sedang diketahuinya, bahwa pasal 27 KUH Perdata (sipil) berlaku padanya, b Perempuan yang bersuami berbuat zina, 2a laki laki yang turut melakukan perbuatan itu sedang diketahuinya bahwa kawanya itu bersuami, b perempuan yang tiada bersuami yang turut melakukan perbuatan itu, sedangkan diketahinya bahwa kawanya itu beristri dan pasal 27 KUH Perdata berlaku pada kawanya.”
Menurut Mudzakkir, berdasarkan Pasal 284 ini Negara/pemerintah punya kewajiban untuk melindungi perkawinan yang sah.
Maka, segala bentuk penyimpangan dari perkawinan, maka wajib untuk dilarang baik dalam hukum administrasi maupun juga di dalam hukum pidana.
“Susunan dalam KUHP nampaknya ada bagian yang kurang masih dalam konteks ini, apa itu? Yakni yang terkait dengan masalah hubungan seksual atau sebut saja persetubuhan di luar ikatan perkawinan yang sah,” ujarnya.
Kemudian Pasal 285 yang juga masuk dalam pasal yang dimohonkan uji materiil.
“Dalam Pasal 285 yang dikenal dengan pemerkosaan atau perkosaan. Dalam perkosaan ini adalah tekanan di dalam perbuatan yang dilarang adalah kekerasan, ancaman kekerasan, memaksa orang seorang wanita bersetubuh dengannya atau dengan dia di luar ikatan perkawinan.
Ini dua hal yang menjadi menarik dalam hubungan dengan ini yang di sini yang dilarang adalah bukan pada hubungan bersetubuh dengannya di luar perkawinan dari sisi analisis filsafat hukumnya dengan filsafat perbuatannya.
Yang dilarang di sini adalah kekerasan dan ancaman kekerasan, sedangkan variabelnya di situ adalah melakukan hubungan seksual di luar perkawinan yang maaf persetubuhan di luar perkawinan dalam hubungan perlawanannya adalah persetubuhan di dalam perkawnan, maka dalam KUHP tidak ada namanya pemerkosaan suami istri kecuali itu nanti dalam Undang-Undang KDRT.
“Jadi, di sini yang dilarang adalah sesungguhnya bukan pada … saya ulangi lagi, bukan hubungan seksual, tapi yang hubungan seksual yang dilarang itu sebenarnya ada dalam Pasal 284,” urainya.
Menurutnya, dari sini ada masalah mendasar yang mesti segera dibenahi.
“Nah, oleh sebab itu yang dilarang di sini adalah kekerasan, ancaman kekerasan, kebetulan objek kekerasan itu adalah masalah persetubuhan atau seksual. Kalau itu tidak persetubuhan, maka sebetulnya dimasukkan di dalam pasal kekerasan atau tindak pidana penganiayaan. Jadi, landasan falsafahnya di sini berbeda dalam satu konteks ini,” paparnya.
Sedangkan terhadap Pasal 292 diharapkan penyimpangan seksual dalam bentuk pencabulan bisa diperluas subjek hukumnya.
“Perbuatan cabul bukanlah perbuatan persetubuhan, tapi ini adalah perbuatan penyimpangan seksual,” ungkapnya.
Uji Materiil KUHP pasal 284, 285 dan 292 Penting Selamatkan Moral Bangsa Indonesia
Menurutnya, makna penyimpangan seksual dalam bentuk pencabulan juga harus diperluas, prinsipnya diperluas subjek hukumnya, bukan hanya ditujukan kepada orang di bawah umur, tetapi juga berlaku bagi orang dewasa dan terhadap orang dewasa.
“Penyimpangan seksual dalam bentuk pencabulan prinsipnya adalah dilarang dan sebaiknya diperluas subjek hukumnya, bukan hanya ditujukan kepada orang di bawah umur, tetapi juga berlaku bagi orang dewasa dan terhadap orang dewasa, maka… keduanya itu sebagai delik berpasangan, maka bagi orang dewasa keduanya dapat dipidana,” pungkasnya.
Karena itu ia meminta meninjau ulang pasal-pasal yang dipermasalahkan tersebut. Yang paling penting, merumuskan pasal yang melarang segala bentuk perzinahan tanpa atau di luar ikatan perkawinan.
“Dan oleh sebab itu, maka tuntutan moral buat kita semuanya berdasarkan amandemen undang-undang Pasal 28B tersebut, maka kita harus menyusun tentang apa yang disebut sebagai permohonan uji materiil ini mengubah susunan makna daripada yang disebut sebagai persetubuhan dan kita harus merumuskan bahwa persetubuhan tanpa atau di luar ikatan perkawinan adalah dilarang. Sedangkan bentuk-bentuknya kita bisa mendasarkan pada di situ.”*