Hidayatullah.com – Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia, Dian Kartikasari menilai, mengaku keberatan perluasan makna perzinaan yang diajukan pemohon dalam Uji Materi Pasal 284 285 dan 292 KUHP. Menurutnya, uji materi tentang perzinaan, perkosaan, dan perbuatan cabul sesama jenis akan berdampak pada ketahanan keluarga.
Ia juga menyatakan, perluasan itu menyebabkan delik pasal tersebut berubah dari delik aduan menjadi delik umum. Sehingga, kata dia, akan langsung membuat salah seorang pasangan masuk ke ranah pidana jika melakukan perzinaan di luar nikah.
Dian menambahkan, menurutnya banyak pasangan yang tidak memilih opsi hukum terhadap pasangannya meski telah berbuat zina ataupun perilaku seksual menyimpang.
“Pertimbangannya yaitu ketergantungan ekonomi, karena suaminya akan dipenjara dan secara ekonomi akan mengalami krisis serta menghancurkan ketahanan keluarga,” ujar Dian saat menjadi pihak terkait tidak langsung di persidangan uji materil pasal 284, 285 dan 292 KUHP tentang perzinaan, perkosaan, dan perbuatan cabul sesama jenis di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (08/09/2016).
Termasuk, ia melanjutkan, pertimbangan lainnya yakni demi melindungi perasaan dan tumbuh kembang anak, yang menurutnya juga berdampak pada ketahanan keluarga.
“Seorang suami atau istri tidak melakukan penuntutan hukum kepada pasangannya karena pertimbangkan tumbuh kembang anak yang akan berakibat kehilangan figur seorang ayah atau ibu,” jelas Dian.
Sementara itu, Guru Besar IPB bidang ketahanan dan pemberdayaan keluarga, Prof. Dr Euis Sunarti yang juga selaku pihak pemohon mengatakan, pernyataan Koalisi Perempuan Indonesia tentang ketahanan keluarga sangatlah kontradiktif.
Euis mempertanyakan, ketahanan keluarga semacam apa yang dimaksud pihak Koalisi Perempuan yang dibangun oleh orang-orang yang tidak setia, tidak jujur, tidak berkomitmen dan melakukan suatu penyimpangan seksual?
“Jadi mereka menggunakan logika dan konsep ketahanan keluarga ini secara tidak benar,” ucapnya kepada hidayatullah.com seusai lanjutan sidang ke-8 nomor perkara 46/PUU-XIV/2016 tersebut.
Termasuk, sambung Euis, terkait pertimbangan tumbuh kembang anak yang dikaitkan dengan ketahanan keluarga.
“Di satu sisi seolah mempertahankan keluarga, tapi sebetulnya lingkungan yang dibangun apakah atmosfer yang baik ketika orang-orang yang membangunnya dipenuhi oleh kebohongan dan perilaku yang tidak sehat yang didasari oleh ketidaksetiaan. Bagaimana logikanya,” ungkapnya heran.
Sedangkan tentang pertimbangan ekonomi, kata Euis, adalah pertimbangan yang timpang. Padahal, terangnya, ada faktor lain yang lebih berpengaruh, seperti masalah sosial dan psikologis.
“Kesejahteraan itu bukan hanya objektif, tapi subjektif. Itu jauh lebih mempengaruhi, bagaimana bisa mengasuh anak dengan baik dengan alasan supaya punya ketahanan, padahal sebetulnya tidak mungkin terjadi ketahanan dan pengasuhan yang baik kalau dibangun dengan perilaku menyimpang, salah satu atau keduanya,” tandasnya.
Karenanya, menurut Euis, Koalisi Perempuan hanya menggunakan sebagian kecil konsep ketahanan keluarga sebagai justifikasi atau dalih atas nama ketahanan keluarga.
“Jadi ini dibuat bingung sebetulnya, dengan menggunakan alasan secara tidak benar,” pungkas Euis.
Selain Koalisi Perempuan Indonesia, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan juga menolak perubahan pasal 284, 285, dan 292 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang sedang dalam proses pengujian di Mahkamah Konstitusi (MK).
Hakim MK Sebut Pernyataan Komnas Perempuan pada Sidang Uji Materi Pasal Kesusilaan Tidak Konsisten
Sebelumnya, Aliansi Cinta Keluarga (AILA) bersama 12 pemohon lainnya dan dengan didampingi tim kuasa hukum para akademisi dari Gerakan Indonesia Beradab (GIB), melakukan Uji Materiil (JR) terhadap pasal 282 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), pasal 285 dan pasal 292 ke Mahkamah Konstitusi.*