Hidayatullah.com–Panglima TNI, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, berpendapat, salah satu yang digunakan untuk proxy war adalah menguasai media massa di Indonesia hingga penerbitan buku, termasuk membuat generasi bangsa malas membaca.
“Proxy war sudah terjadi dan menjadi ancaman nyata yang menyusup ke sendi-sendi kehidupan berbangsa, bernegara, dan berkeluarga,” kata Nurmantyo, dalam sambutan dia yang dibacakan Wakil Kepala Pusat Penerangan TNI, Laksamana Pertama TNI Abdul Rasyid, pada Pesta Buku Internasional Indonesia (IIBF) 2016, di Balai Sidang Jakarta, Senayan, Rabu.
Nurmantyo menyatakan, media massa memiliki kemampuan luar biasa dalam memengaruhi dan membentuk opini publik yang bisa saja digunakan sebagai wahana proxy war di Indonesia.
“Semua ini harus kita cermati, kita antisipasi agar masyarakat Indonesia tidak terjebak dalam arena ini. Komitmen media massa nasional, termasuk para penulis buku menjadi salah satu solusi guna mendidik dan mencerdaskan segenap anak bangsa,” ucapnya.
Menurut Nurmantyo, pada era demokrasi saat ini, Indonesia tidak ada lagi media massa yang berbasis dan berorientasi ke pemerintahan, yang mau dan mampu menyebar-luaskan semua informasi yang berasal dari pemerintah ataupun negara.
“Pemerintah tidak memiliki media massa yang dijadikan corong sebagaimana pada masa lalu, sehingga praktis tak ada media yang menjembatani informasi dari pemerintah kepada masyarakat,” ujarnya dikutip Antaranews, Rabu, 28 September 2016 .
Dalam kesempatan tersebut, Nurmantyo menyampaikan, beberapa waktu lalu, telah menandatangani Pakta Pertahanan Proxy War Media dengan 11 organisasi dan salah satu media massa, penandatanganan itu adalah dalam rangka memerangi ancaman proxy war media.
Ke-11 organisasi yang ikut menandatangani Pakta Pertahanan Proxy War Media, antara lain Pengurus Besar Nahdatul Ulama, Persatuan Guru Republik Indonesia, Ikatan Penerbit Indonesia, Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia.
“Media massa, penulis dan penerbit buku maupun penerbitan lainnya memiliki peran strategis dalam pertahanan suatu negara,” tutur Nurmantyo.*