Hidayatullah.com– Tindakan kekerasan apalagi menjadikan anak-anak sebagai terdampaknya tidak bisa ditoleransi.
Demikian dinyatakan Pengurus Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Reza Indragiri Amriel, dalam keterangan tertulisnya kepada hidayatullah.com di Jakarta, Senin (14/11/2016).
“Dalam Islam, misalnya, melakukan tindak perusakan ke rumah ibadah dan melancarkan kekerasan terhadap anak-anak -tak terbantahkan, merupakan dua tindakan yang dilarang keras, bahkan dalam situasi perang sekali pun,” kata Reza.
Gratis, Bantuan Hukum GPPA bagi Anak dan Perempuan Korban Kekerasan
Ia mengatakan, trauma, apa pun sumbernya, niscaya menyakitkan.
“Tapi trauma yang diakibatkan oleh ulah tangan manusia (bencana kemanusiaan) berdampak lebih buruk ketimbang bencana alam,” ujarnya.
Karena itu, lanjutnya, dibutuhkan penanganan komprehensif terhadap korban, khususnya anak-anak.
Sebagaimana anak mengandalkan orangtua mereka sebagai pelindung, kata dia, keluarga pun mengharapkan kehadiran otoritas terkait sebagai pemberi jaminan keamanan.
“Itu berarti, semakin cepat dan efektif penanganan oleh otoritas berwenang, dan langkah-langkah penanganan itu disaksikan keluarga korban, semakin solid pula pondasi bagi pulihnya kondisi anak-anak yang menderita trauma,” imbuhnya.
Akibat Serangan 51 ‘Israel” ke Gaza, 75 Siswa Cacat, 400 Ribu Anak Gaza Trauma
Sama Bahayanya Kekerasan Lisan
Reza mengatakan, tindakan kekerasan seperti kejadian peledakan di Samarinda, Kalimantan Timur, apalagi jika secara sengaja ditujukan pada anak-anak, merupakan kejahatan yang sangat keji.
Begitu pula, tegasnya, kekerasan dalam operasi “pemberantasan teror”, seperti yang disaksikan oleh anak-anak TK di Klaten, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu, pada dasarnya bukan sesuatu yang bisa ditoleransi.
“Keduanya (kasus di Samarinda dan Klaten. Red) masalah serius,” tegasnya.
Diketahui, anak-anak didik di Desa Pogung, Cawas, Klaten, mengalami trauma setelah TK mereka digeledah Densus 88 Anti Teror Mabes Polri (10 Maret 2016) terkait kasus kematian Siyono.
Bahkan, sejumlah anak murid jadi ketakutan saat melihat peralatan kamera milik wartawan yang dikira senjata. Pun, mayoritas anak murid TK itu ogah bercita-cita menjadi polisi.
Menurut Reza, kekerasan verbal dan psikis terhadap anak-anak, termasuk kekerasan di masyarakat (community violence) tidak boleh disepelekan.
kekerasan verbal dan psikis itu, ungkapnya, berupa penghinaan dan ungkapan-ungkapan peyoratif lainnya. Seperti yang kerap diperagakan oleh sebagian elit dan kian marak pada masa kontestasi politik.
“Kekerasan lisan di masyarakat barangkali tidak seketika memunculkan guncangan psikis,” kata master psikologi forensik pertama di Indonesia ini.
Tapi sebaliknya, imbuhnya, terbiarkannya kekerasan semacam itu dapat memberikan pembelajaran kontraproduktif kepada anak-anak, “Bahwa kekerasan psikis dan lisan ternyata merupakan bentuk perilaku yang dimaklumi.”
Korban Meninggal Dunia
Diketahui, sebuah ledakan berdaya ledak rendah terjadi di pintu depan sebuah rumah ibadah di Samarinda, Kalimantan Timur, Ahad (13/11/2016).
Reza mengatakan, siapa pun pelakunya, apa pun agamanya, senyatanya aksi itu sama sekali tidak merefleksikan nilai-nilai religi.
Sebelum Ledakan di Samarinda, Pengamat Terorisme Sudah Memprediksi
Ledakan di pintu depan Gereja Oikumene, Kecamatan Loa Janan Ilir, itu mengakibatkan 4 orang anak dan balita mengalami luka serius. Seorang korban, Intan Olivia Marbun (2,5 tahun) meninggal dunia.
Tubuh Intan dikabarkan mengalami luka bakar 70 persen dan infeksi saluran pernapasan. Balita malang itu akhirnya meninggal ketika menjalani perawatan intensif di RSUD AW Sjahranie Samarinda, Senin kemarin.
Banyak pihak mengecam aksi yang diduga dilakukan seorang berinsial J. Di sisi lain, tak sedikit pihak menyebut kejadian ini sebagai upaya pengalihan isu “oleh suatu pihak” atas kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang tengah bergulir.
Kepolisian mengklaim, terduga pelaku pernah menjalani hukuman penjara selama 3 tahun 6 bulan sejak Mei 2011 atas kasus bom Puspitek, Serpong, Tangsel, Banten.*