Hidayatullah.com– Akhir-akhir ini usai Pilkada DKI Jakarta yang dinilai berjalan demokratis dan damai, masih juga dikembangkan pikiran atau pendapat-pendapat yang terasa gawat atau digawat-gawatkan.
Yaitu, menurut Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, kemenangan pasangan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang dianggap merebaknya radikalisme agama, intoleransi, dan ancaman terhadap kebhinnekaan.
Malah, imbuhnya, kemenangan itu dianggap mekarnya politik primordialisme atau SARA yakni suku, agama, ras, dan antargolongan.
Hal senada, dalam bentuk lain, katanya, pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat (Ahok-Djarot) yang kalah secara demokratis dan keduanya sebenarnya sudah mengucapkan selamat kepada pemenang, digambarkan mewakili kebhinnekaan, toleransi, moderat, dan rasionalitas.
Maka ketika pasangan ini kalah, imbuhnya, lalu muncul pandangan alarm atas keindonesiaan.
Baca:Ā Adian Husaini: Di Luar Prediksi, Kemenangan Anies-Sandi Pertolongan Allah
Selain itu, kata Haedar, bahkan ada yang berpandangan adanya ancaman terhadap NKRI, karena ada gerakan kelompok Islam radikal maka dimungkinkan akan muncul reaksi balik dari kawasan Papua, NTT, dan lainnya.
Lalu dimunculkan istilah kawan setia dan paling mendukung NKRI. Sebaliknya, imbuhnya, tentu saja ada yang dianggap kurang atau tidak setia, serta tidak pro-NKRI.
“Pikiran dan pandangan yang mengesankan situasi gawat Ā seperti itu justru dapat berpotensi menciptakan psikologi kegawatan dalam berbangsa dan bernegara saat ini,” ujarnya dalam pernyataan tertulisnya diterima hidayatullah.com Jakarta, Senin (08/05/2017).
Haedar mengatakan, jika pendapat-pendapat negatif seperti itu terus diproduksi, boleh jadi malah akan terjadi saling berhadapan atau dihadap-hadapkan antar dua pihak warga bangsa yang berbeda.
Misalnya mayoritas versus minoritas, pemeluk agama satu dengan peneluk agama lain, antara satu etnik dengan etnik lain, dan antara kelompok radikal satu dengan radikal lain.
“Mau sampai kapan?” ungkapĀ Haedar mempertanyakan.
Disadari, imbuhnya, terdapat sejumlah masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk masalah hubungan antar kelompok agama, etnik, kedaerahan, dan golongan dalam kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk.
Ketika ada titik pemicu kadang muncul gesekan. Ditambah dengan kontestasi politik, biasanya memunculkan gesekan kepentingan antarkelompok yang bertensi tinggi. Faktor agama juga sering bersenyawa dalam konflik kepentingan itu, tambahnya.
Namun, lanjutnya, jika berpikir lebih jernih dan objektif, permasalahan yang berkembang masih bisa diatasi dan terus didialogkan untuk dicarikan solusi.
Pilkada DKI memang ada masalah yang berkaitan dengan relasi politik dengan sentimen agama dan etnik, tetapi faktornya tidak determinan dan satu-satunya. “Masalah lain ikut memicu seperti faktor personalitas, kesenjangan sosial, dan lain-lain,” ujarnya.
Baca:Ā Rekonsiliasi Pasca Pilkada, Fadli Zon: Proses Kebijakan dan Hukum PalingĀ Penting
Karenanya, ia mengatakan, setiap ada peristiwa kajilah secara seksama dan komprehensif agar tidak linier dan melahirkan pandangan dangkal. Lalu di sana terjadi politisasi dalam beragam bentuk, termasuk dramatisasi situasi.
“Dramatisasi itulah yang sering memicu masalah baru dan memperluas masalah, yang menimbulkan kepanikan maupun kesan suasana gawat, yang tidak sepenuhnya menggambarkan keadaan yang faktual atau apa adanya,”Ā sebutnya.
Maka, ia mengimbau, hendaknya perlu dihentikan pikiran-pikiran yang cenderung menggawatkan atau mendramatisasi keadaan disertai pandangan yang ekstrem, provokatif, dan berlebihan.
Kembalilah ke pandangan yang moderat, objektif, dan mengirim pesan damai serta positif. Masalah yang dihadapi dapat dikaji secara seksama dan dicarikan solusi bersama dalam suasana yang lebih normal, kata dia.
Baca:Ā Pengamat Hukum: Lantaran Seorang Ahok, Satu Negara Gaduh
Menurut Haedar, bangsa Indonesia telah melewati banyak rintangan dan masalah besar, sehingga memiliki modal sosial yang relatif mencukupi untuk melewati masalah-masalah baru.
“Masalah harus dihadapi, tetapi jangan termakan situasi. Jangan sebarkan virus kecemasan dan kewaspadaan yang berlebihan, yang menciptakan psikologi kegawatan melebihi kemestian,”Ā pesannya.
“Di sinilah pentingnya kedewasaan, kearifan, kejujuran, dan kecerdasan para pemimpin negeri!” tegasnya memungkas.*