Hidayatullah.com– Doktor sejarah dari Universitas Indonesia (UI), Tiar Anwar Bachtiar memandang, munculnya persepsi yang tidak proporsional soal hubungan keislaman dan keindonesiaan, karena buku pelajaran sejarah di sekolah tidak begitu menonjolkan aspek keislaman.
Misal, kata Tiar, saat menceritakan kerajaan-kerajaan Islam, buku itu tidak memunculkan ciri, paham, hukum, sosial, dan ekonomi Islam yang hidup dalam kerajaan tersebut.
Contoh lainnya, tambah Tiar, ketika mengisahkan Pangeran Diponegoro melawan penjajah, buku itu tidak menyuarakan Perang Sabil yang dilandasi jihad fi sabilillah.
Baca: Gus Sholah: Indonesia dan Islam Dua Sisi dari Mata Uang yang Sama
“Jadi seolah-olah nanti, bahkan sekarang dikesankan bahwa jihad ini dianggap sebagai satu alat atau satu istilah yang nanti akan memuncukan terrorism. Kan, ini menjadi tidak proporsional,” ujarnya pada diskusi bertema “Islam dan Keindonesiaan: Reaktualisasi Amanat Konstitusi dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” di kompleks DPR, Jakarta, Kamis (08/06/2017).
Cerita detil tentang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pun, lanjutnya, juga tidak muncul di dalam buku sejarah. Padahal hal itu sangat penting karena berkaitan dengan pembentukan bangsa, yang disepakati golongan kebangsaan dan golongan Islam.
“Sayangnya ini tidak menjadi bagian yang penting untuk menunjukkan kepada anak-anak bangsa kita bahwa bangsa ini adalah hasil karya bersama. Bukan hasil dari segelintir orang saja,” kata peneliti INSISTS ini.
Buku pelajaran semacam di atas menurutnya mengajarkan anak-anak Indonesia secara doktriner. Seharusnya, kata Tiar, sejarah menjadi ilmu yang mengarahkan orang untuk berpikir secara lebih kritis dan dialektis.
“Dengan sejarah seperti itu, seolah-seolah Indonesia adalah negara yang dari Islam ini amat jauh,” simpulannya.
Baca: Pakar Hukum Internasional: Umat Islam Pemilik Saham Terbesar Republik Indonesia
Karenanya, Tiar mengusulkan agar kurikulum sejarah direvisi ulang. Dua riset dari UI tentang buku ajar sejarah, sebutnya, menunjukkan, buku ajar sejarah sampai tahun 2004 belum ada perubahan yang fundamental.
Padahal lanjutnya riset sejarah di berbagai jurusan sejarah sangat banyak. Dan itu hampir tidak dimanfaatkan untuk memperkaya buku-buku sejarah.
Dengan perbaikan muatan buku ajar sejarah, ia berharap, buku itu bisa lebih memperkaya cara pandang anak-anak Indonesia, terutama yang mayoritas Muslim, terhadap bangsanya sendiri.* Andi