Hidayatullah.com–Anggota Komisi IX bidang Kesehatan DPR RI Ahmad Zainuddin menangkap kesan pesimistis Kementerian Kesehatan dalam menjalankan amanah UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) terhadap produk farmasi seperti vaksin.
Dalam rapat kerja Komisi IX bersama Menteri Kesehatan Nila Djuwita F Moeloek di kompleks DPR RI, Senin (4/9/2017), Menkes Nila mengungkapkan dampak UU JPH terhadap industri farmasi. Industri farmasi menurut Menkes Nila, adalah industri yang padat modal memerlukan teknologi tinggi dalam hal penelitian dan pengembangan, studi klinis, produksi maupun pengemasan.
“Dampak UU JPH terhadap rantai nilai proses dan rantai pasokan obat dan vaksin ditinjau dari 6 tahapan, yaitu tahap pertama, tahap penelitian dan pengembangan produk, menyiapkan dan memiliki dokumen bahan baku farmasi, melakukan registrasi dan melakukan uji Bioavailabilitas-Bioekivalensi yaitu uji untuk menjamin efikasi dan keamanan obat. Hal ini tidak dibuat dengan pertimbangan atas dasar ke-agamaan tertentu,” jelas Menkes Nila.
Tahap kedua, lanjut Nila, tahap penyiapan bahan obat yang meliputi zat aktif (Active Pharmaceutical Ingredients/API) dan bahan tambahan (non Active Pharmaceutical Ingredients/non API), penyiapan kemasan primer, pelabelan, logistik, dan pemilihan pemasok bahan.
“Diperlukan bahan API, non-API dan kemasan yang halal serta pemasok bahan yang terpercaya. Sementara 95 persen bahan baku obat kita masih impor,” imbuhnya.
Berikutnya, tahap proses produksi obat yang menerapkan Cara Pembuatan Obat Yang Baik terkini (current-Good Manufacturing Practice). Bahwa lokasi, fasilitas produksi harus terpisah dari yang non-halal pada semua kegiatan produksi dan memerlukan supervisor halal.
“Tahap keempat, tahap distribusi dengan menerapkan Cara Distribusi Obat Yang Baik. Untuk penyimpanan, pengangkutan dan penanganan bahan, harus terpisah dari yang non-halal,” tambahnya.
Tahap kelima, lanjut Nila, tahap obat dan vaksin pada fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, klinik dan puskesmas, dimana setiap kegiatannya harus dipisahkan dari yang non-halal. “Terakhir tahap keenam, tahap pemberian layanan kepada profesional kesehatan dan pasien/konsumen, harus dipisahkan dari yang non-halal,” papar Nila.
“Kewajiban Sertifikasi halal mengakibatkan perubahan total pada industri farmasi, yaitu perubahan dari bahan menyebabkan proses ulang terhadap quality, safety and efficacy, perubahan proses distribusi, penambahan personil/staff, kemampuan ekonomi industri menurun akibat peningkatan biaya produksi serta belum ada pengakuan negara lain terhadap sertifikat halal sediaan farmasi dan alkes,” tambahnya.
Bahkan menurut Nila, sertifikasi halal akan memperlemah pengembangan obat, daya saing dan sustainability industri obat di Indonesia. Dari enam tahapan tersebut, minimum diperlukan Rp 96,5 triliun untuk sampai menghasilkan produk farmasi halal. Sementara obat impor mencapai 50 persen dari total obat yang beredar di Indonesia, tidak mungkin bisa dilakukan sertifikasi halal.
Menanggapi hal tersebut, Zainuddin menangkap kesan pesimistis pemerintah dalam menjalankan sertifikasi halal produk farmasi.
“Saya menangkap kesan pesimis pemerintah untuk sertifikasi halal obat dan vaksin. Tidak ada alasan untuk pesimis. Karena ini amanah UU JPH yang sudah disepakati bersama pemerintah dan diundangkan sejak 2014 lalu. Pemerintah seperti tidak ada niat baik,” tegas Zainuddin di komplek DPR RI, Selasa (5/9/2017).
Baca: Lembaga Sertifikasi Profesi LPPOM MUI Perkuat Jaminan Produk Halal
Akibat abai terhadap faktor halal, politisi PKS ini mencontohkan, program vaksinasi Measles-Rubella (MR) yang menghabiskan anggaran Rp 740 miliar menuai polemik di masyarakat. Pemerintah baru berupaya memproses sertifikasi vaksin MR setelah ramai penolakan di masyarakat.
Padahal menurutnya, upaya sertifikasi halal vaksin seharusnya dilakukan Kemenkes sejak awal, sebelum lahir UU No 33 tahun 2014 dengan adanya payung hukum lain yang sudah berlaku, seperti UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan , PP No 69 tahun 1999 tentang Lebel dan Iklan Pangan, serta Keputusan Menteri Agama No 518 tanggal 30 November 2001 tentang Pedoman Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal.
“Sehingga tidak ada alasan untuk pesimis dan tidak siap. Seharusnya ini tidak perlu terjadi. Seharusnya diproses dari awal. UU JPH ditujukan untuk memberi ketenangan di masyarakat. Jangan sampai program dengan anggaran besar, hasilnya jadi tidak maksimal karena banyak penolakan,” pungkas Zainuddin.*