Hidayatullah.com– Aliansi Ulama Madura (AUMA) menemui pimpinan DPR RI menyampaikan beberapa hal terutama terkait lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, pekan ini.
Pengasuh Pondok Pesantren Al Amien Prenduan Sumenep, Madura, KH Dr Ahmad Muhammad Tijani Djauhari, menjelaskan, pertemuan digelar dengan Komisi III DPR RI.
“Dengan usulan pokok tentang LGBT agar dimasukkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai delik hukum pidana dengan hukuman keras,” ujarnya dalam penuturannya didapat langsung hidayatullah.com dari kiai, Kamis (11/01/2018).
Para ulama juga mengusulkan agar pengertian zina dalam KUHP diperluas lagi maknanya.
“Memperluas pengertian zina, yang saat ini sedang dalam proses pembahasan di DPR RI,” jelasnya.
Dalam dengar pendapat (hearing) tersebut, hadir pula lembaga bantuan hukum dan beberapa ormas lain.
“Alhamdulillah usulan Ulama Madura dan Tapal Kuda diterima dan disetujui untuk masuk dalam KUHP,” ujar Kiai.
Baca: Ulama Madura Silaturahim ke Menag, Tabayun soal LGBT dan Buku Ajar PAI
Pada pertemuan, selain Komisi III DPR RI, turut Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah.
Sekjen AUMA Fadholi Muhammad Ilham mengatakan, para ulama meminta LGBT dimasukkan dalam klausul pembahasan Revisi KUHP.
“LGBT itu dosa besar dan kami mohon agar dimasukkan dalam klausul pembahasan KUHP terutama dalam Pasal 292,” ujarnya lansir Parlementaria.
AUMA menekankan, KUHP Pasal 292 agar tentang pengertian zina itu diperluas, tidak hanya mereka yang beristri atau bersuami. Zina juga dikenakan juga kepada semua, baik itu kepada yang bersuami atau tidak bersuami, baik itu laki-laki maupun perempuan, baik itu laki-laki dengan laki-laki, maupun juga perempuan dengan perempuan, baik itu dewasa maupun belum dewasa. Diperluas pengertian zina itu.
Kemudian terkait LGBT, AUMA juga memohon agar dalam pembahasannya tidak hanya memandang dari segi HAM (Hak Asasi Manusia) ala barat. Tetapi juga harus memperhatikan deklarasi HAM di Kairo 1998 yang menyatakan; hukum itu dibentuk bersumber kepada antara lain adalah agama, adat istiadat, kearifan lokal, dan sosial kebudayaan di wilayah setempat.
“Indonesia telah menandatangani hal itu, oleh karena itu tidak ada alasan lagi kalau LGBT tidak dimasukkan dalam tindakan kriminal dan tidak diancam dengan pidana,” paparnya.
Selanjutnya, mereka memohon aspirasi dari para ulama yang memperjuangkan bangsa Indonesia khususnya agama Islam, agar ini dikawal terutama di sidang paripurna DPR.
“Kawalan itu sangat kami harapkan, kami khawatir jangan-jangan aspirasi kami ini dibelokkan hanya karena gara-gara ingin menjembatani keinginan barat dan orang-orang yang setuju LGBT,” tegasnya.
Perwakilan para ulama itu pun bersyukur bahwa aspirasi mereka telah diterima dengan baik oleh DPR.
“Alhamdulillah Komisi III sangat mendukung aspirasi ini dan tidak ada agama apapun yang menghalalkan LGBT terutama Indonesia, dan Fahri Hamzah pun siap mengawal aspirasi kami,” ujar Fadholi.
Dalam kesempatan tersebut, Fahri Hamzah meminta ulama selalu memberikan nasihat kepada pemerintah dan pemerintah harus mendengarkan dan melaksanakan nasehat itu.
Tanpa nasihat ulama maka pemerintah melenceng dari tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesaia. Karena menurutnya, NKRI berdiri atas perjuangan dan peran serta dari ulama.*